2. Lakon sang pangeran

193 26 16
                                    

Hari pun bergulir. Pagi di kota ini kembali Retno temui dengan suasana yang tidak banyak berubah dari yang terdahulu. Semalaman lelah bergelut dengan keributan suasana hatinya, kini dia memutuskan untuk pergi ke halaman belakang sambil membawa busur dan beberapa anak panah.

Berlatih? Oh, tidak. Wanita itu hanya ingin mengobati sedikit kerinduannya.

"Dunia ini sangat luas, banyak hal yang menarik bisa terlihat. Tapi kamu harus menentukan satu saja titik yang ingin kamu tuju."

Retno membuang napasnya begitu berat lalu memaku sorotan manik ke arah papan target yang sebelumnya sudah dia pasang di tembok pagar pembatas halamannya.

Satu titik saja yang harus dituju dan itu ada di tengah-tengah lingkaran. Lalu, Retno mengambil satu anak panah kemudian mengambil posisi membidik sasaran yang ada di depannya.

Tidak sekadar membidik, Retno ingat apa yang dikatakan Arjuna bahwa dalam menargetkan sasaran, intuisi harus ikut terlibat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tidak sekadar membidik, Retno ingat apa yang dikatakan Arjuna bahwa dalam menargetkan sasaran, intuisi harus ikut terlibat. Penglihatan tidak bisa sepenuhnya bekerja sendiri tanpa diikuti dengan pikiran yang tajam. Konsentrasi manik dipusatkan pada titik di depan sana lalu dia lepaskan anak panahnya setelah mendapatkan perintah dari intuisinya sendiri.

Apa itu akan langsung tepat sasaran? Tentu tidak. Anak panah Retno bahkan tidak sampai untuk menyentuh papan target dan malah terjatuh di tengah jarak.

Kecewa pastinya. Tangan menurun bersama dengan napas panjang berembus pelan. Sebabnya tidak hanya jarang latihan, namun juga busurnya ini memang sudah seharusnya diganti dengan yang baru. Retno mengambil satu anak panah untuk mecoba satu kali lagi.

"Maaf, Mbak Retno."

Belum sampai memposisikan busur dan anak panahnya, pergerakan terhenti oleh seseorang yang tiba-tiba menginterupsi. Retno menoleh dan kembali dihadapkan oleh Adi yang lagi-lagi mengguncangkan batinnya tanpa alasan. Kedua tangan pun kembali turun saat pria itu melangkah mendekat.

"Bagaimana bisa Mbak Retno bermain panah dengan busur seperti itu?"

Dengan sorotan tak berpaling, Retno mengernyitkan dahi. Seharusnya bukan menjadi masalah dengan apa yang dia lakukan ini. Bermain panah sudah menjadi hal biasa selama dirinya berada di rumah. Tidak ada yang mengomentarinya selain Arjuna sendiri.

"Tali busurnya kendur."

Kerutan di dahi Retno semakin terlihat. Bagaimana bisa Adi tahu jika tali busurnya kendur? Apa pria ini sedang memperhatikannya sejak tadi?

"Anak panah tidak akan bisa melesat jauh jika talinya sendiri tidak kencang."

"Bagaimana kamu tahu kalau talinya kendur?"

"Saya tahu. Itu adalah hal yang mudah sekali untuk dilihat."

Benak Retno penuh dengan tanda tanya namun tak mampu untuk mempertanyakannya. Mata sulit melepas sorotan sang pria yang siratnya tak berubah dari kemarin. Teduh dan itu mengingatkannya pada Arjuna.

Asmara Gala Gandewa | Selesai Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang