7. Laksana untuk angkara

116 22 11
                                    

Khusus chapter ini narasinya dari sudut pandang Arjuna, ya😁

**

Terlahir dari keluarga yang memiliki latar belakang kehormatan tinggi adalah salah satu keberuntungan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Terlahir dari keluarga yang memiliki latar belakang kehormatan tinggi adalah salah satu keberuntungan. Banyak orang ingin merasakan bagaimana menjadi bagian dari orang terhormat dan disegani. Mereka berpikir dengan menjadi yang terhormat bisa mempermudah akses menjalani hidup yang lancar.

Ya, Arjuna membenarkan itu. Dia bisa mengatakan dirinya adalah orang yang beruntung. Bisa bersekolah tinggi, bisa mewujudkan impiannya, memiliki saudara-saudara yang baik dan orang tua yang bijak. Kehidupannya sangat nyaman.

Tapi bagi Arjuna sekarang, hal yang paling beruntung dia dapatkan adalah kehidupan. Sebuah kesempatan yang memberinya ruang untuk bisa melakukan hal yang belum dia lakukan, mengetahui apa yang sedang tersembunyi dan merasakan sesuatu yang belum dirasakannya. Itu adalah puncak keberuntungannya saat ini.

"Arjuna..."

Saat mengikuti semua orang untuk masuk ke dalam rumah, tiba-tiba ibunya menghentikan langkah tepat di depan pintu membuat Arjuna turut berhenti.

"Iya, Bunda?"

Arjuna sontak dibawa oleh sang ibu ke dalam dekapan yang erat. Meraih kembali tubuh yang sempat diikhlaskan.

"Ini rasanya seperti mimpi, Nak."

Satu tahun bukan waktu yang singkat. Arjuna benar-benar menahan kerinduannya dengan sang ibu demi menjalankan rencana untuk membongkar kedok Ardyan di depan semua orang.

Dia mungkin bisa sabar dengan perlakuan sepupunya selama ini, akan tetapi untuk berusaha membunuh tentunya sudah sangat keterlaluan.

Arjuna pun membalas pelukan ibunya dan menghabiskan sedikit waktu untuk saling melepas rindu.

"Jika ini hanya mimpi, saya memilih untuk tidak bangun," kata Arjuna lalu melepas pelukannya.

Senyum kemudian mengembang sambil menyeka air mata yang menetes di wajah Tante Pritha.

"Maaf, Bunda. Saya telah membuatmu khawatir."

Kekhawatiran jelas sudah tidak ada. Selama ini orang-orang sudah menganggap Arjuna meninggal dunia, sehingga hanya mengikhlaskan yang mereka lakukan. Tante Pritha menggeleng sambil mengusap sisi wajah pria itu dengan lembut.

"Ayo masuk."

Keduanya pun masuk kemudian bergabung dengan yang lain di ruang keluarga mereka.

Rumah ini sebenarnya bukan rumahnya. Di sini adalah tempat tinggal keluarga yang memberikannya latar belakang terhormat. Tidak ada kenyamanan di sini, bahkan dia seperti tidak sedang berkumpul dengan keluarga yang sesungguhnya saat tatapan menusuk terus mengarah padanya hingga dia mendudukkan diri.

Arjuna tidak mempermasalahkannya. Justru dia merasa lebih seperti seorang pemenang dengan membalas tatapan itu dengan senyuman.

"Arjuna," panggil Eyang memecah keheningan.

Asmara Gala Gandewa | Selesai Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang