1. Renjana untuk bimantara

260 32 24
                                    

1 tahun kemudian.

Hening melanda isi benak yang baru saja dimanjakan oleh pemandangan birunya langit saat masih berada di dalam burung besi tadi. Bersama orang-orang yang berbondong-bondong menuju pintu keluar, Retno menyeret kopernya sambil berbicara dengan seseorang melalui benda pipih yang dia tempelkan di telinga kanan.

"Iya, Yah. Retno sudah turun dari pesawat."

"Ya sudah, hati-hati. Ayah dan Gandhi baru bisa pulang nanti malam."

"Hm."

Tepat saat sambungan terputus, langkah kakinya mendadak berhenti di tengah-tengah orang yang sedang berjalan menghampiri jemputan mereka.

Entahlah, Retno seolah tidak siap untuk kembali menginjak jagat nestapanya yang dulu. Di luar sana hari begitu cerah, akan tetapi tak berlaku untuk isi kepalanya yang digempur oleh badai. Ingatan akan senyum teduh dari bibir ranum milik Arjuna, melintas saat hembusan lembut pawana kota ini menyentuh parasnya.

Tes

Tetesan air merembes, mengalir membasahi pipinya yang mulus. Pilihan untuk mengasingkan diri dari rasa kehilangan adalah kesalahan. Retno sama sekali tidak merasakan adanya atmosfer yang lebih baik setelah 1 tahun lamanya pergi ke kota orang. Sakit itu kembali datang, bahkan terasa lebih menyiksa dari sebelumnya.

Satu-satunya hal yang bisa dilakukan untuk membiasakan diri adalah mencoba tidak menghindar, bagaimana pun itu penderitaannya. Akan tetapi dia terlalu takut untuk terus meratapi waktu yang sudah berlalu.

Kini, rindu kembali datang dan membelenggunya erat yang malah menimbulkan sesak. Mencari-cari sosok itu, akan tetapi nyatanya tidak ada lagi figur sang pangeran yang akan muncul di depan matanya sekarang.

Arjuna ... Sudah tidak ada.

"Mbak Retno?"

Serasa hanya dia yang paling merasakan kesedihan di dunia ini sampai-sampai tidak sungkan untuk menangis di tengah khalayak umum. Mandi di lautan air mata benar-benar membuatnya tenggelam sehingga terperanjat saat ada seseorang yang memanggil namanya.

Lekas disekanya air mata yang hendak mengalir lalu memutar tubuh menghadap si pemilik suara yang kini berada di belakangnya.

"Siapa?"

"Saya disuruh bapak untuk menjemput Mbak Retno."

"Sopir baru?"

"Iya."

Hanya pria biasa dengan pakaian tidak mencolok—kaos putih dan celana cargo pendek berwarna hitam. Sebentar atensinya mengamati wajah pria ini yang masih dihalangi dengan kacamata hitam. 

Benarkah ini supir ayahnya?

Bukannya apa, tapi terus terang Retno sedikit parno dengan orang berkacamata hitam. Apalagi model orang ini sudah seperti preman dengan rambut gondrong yang diikat, ditambah kumis dan jenggot yang dicukur tipis. Tidak ada hal lain yang ada di pikiran Retno selain penculik.

"Nama kamu siapa?"

"Saya Adi."

Adi?

Retno pernah merasa tidak mempunyai masalah sama sekali saat bersitatap dengan sepasang manik teduh yang menyuguhkan kenyamanan. Ya, tatapan Arjuna-nya.

Kehilangan keteduhan itu, dia berpikir bahwa tidak akan ada lagi sesuatu yang sama bisa ditemukannya meskipun sudah berkeliling dunia. Retno yakin tidak ada yang seperti Arjuna. Sosok itu tidak bisa tergantikan.

Akan tetapi saat kacamata pria ini dilepas, penampilan seperti penculik tadi seolah hilang begitu saja tepat dua iris hitam menyorot ke arahnya.

Teduh, tenteram. Lagi-lagi angin misterius berembus entah dari mana, seolah menghentikan putaran masa yang ada padanya. Kembali siksaan itu datang, mencubit hati hingga terasa sakit. Mata memanas, membayangkan orang yang telah hilang, kini ada di depannya.

Asmara Gala Gandewa | Selesai Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang