3. Swastamita mendengar

145 22 29
                                    

Kehormatan keluarga mungkin memang penting. Semua orang butuh diakui oleh orang lain dan menginginkan kepopuleran. Akan tetapi apa harus dengan memperalat perasaan?

Heran, jaman sekarang masih ada saja perjodohan dengan dalih agar memperoleh kehormatan, atau hal lain seperti mempererat kerjasama dalam bidang bisnis. Mungkin Retno tidak akan mempermasalahkannya jika dia akan dijodohkan dengan orang yang tepat sesuai perasaannya, seperti Arjuna. Akan tetapi dengan orang lain yang bahkan tidak pernah dekat meskipun orang itu berasal dari keluarga yang sama dengan Arjuna. Sungguh, hatinya tak pernah merestui.

Menolak perjodohan bisa saja, tapi itu sama seperti mengundurkan diri dari rumah untuk selamanya. Mencari pembelaan pun dengan siapa? Dua kakaknya bahkan hanya bisa tersenyum karena tidak bisa melawan apa kata sang ayah.

"Saya tidak berdaya, Mas. Tuhan mengambilmu dari jagat ini melalui api, tanpa memberi kesempatan apa yang ada di dalam hati saya terdengar oleh telingamu."

Kini Retno hanya dapat merasakan kegelisahannya bersama nisan yang tertancap di atas gundukan makam. Tangan meraba ukiran nama yang ada di permukaan benda tersebut seraya mengharapkan jiwa dari sang pemilik bisa mendengarkan keluh kesahnya.

"Dunia yang penuh cinta dan kasih hanya bisa saya dapatkan dari sorotan matamu. Jika tidak dengan dirimu, maka saya lebih memilih untuk berkelana dengan waktu."

Baginya, bersama waktu dia bisa membiarkan hati lebih leluasa untuk memilih keadaan tanpa ada tekanan. Entah sendiri atau bersama seseorang, waktu juga yang akan menentukannya.

"Tapi apa saya bisa melawan kehendak para sesepuh itu?"

Kemewahan adalah segalanya dibandingkan dengan cinta. Ingin melampiaskan kemarahan pun, Retno pikir akan percuma. Bukan toleransi yang dia dapatkan namun justru ancaman.

"Sepupumu yang sering kamu bilang angkuh itu, Ardyan Destraputra. Kamu bercerita bahwa dia sering meremehkan saudara-saudaramu. Lantas, apa saya bisa menerima orang seperti itu masuk ke dalam hidup saya?"

Ada orang bernasehat mengenai cinta yang bisa tumbuh kapanpun melalui kebersamaan. Ya, benar. Tapi kebersamaan tempat tumbuhnya cinta pertama jauh lebih melekat di dalam pikir dan sanubari. Sulit untuk dikelupas.

Oke, semua bisa ditentukan oleh waktu. Akan tetapi waktu tidak bisa ditebak. Jika waktu tidak berpihak, maka penyesalan yang akan didapat.

Yang didengarnya saja sudah tidak meyakinkan, bagaimana dia akan menerima perjodohan dengan Ardya?

"Andaikan kamu tidak pergi, kita pasti bisa menikah."

Retno terpejam kuat, memeras cairan yang sedari tadi hanya menghalangi penglihatannya. Lalu beralih ke arah jumantara yang mulai diselubungi senja. Waktunya untuk kembali ke tempat bernaung dan mencoba untuk bertahan dengan situasi yang dipaksa.

Dia pun berdiri setelah sebentar menyampaikan ucapan perpisahan pada batu nisan itu. Kemudian berbalik dan berniat untuk segera pulang. Akan tetapi tak disangka-sangka ada seseorang yang membuat langkahnya tidak jadi diambil. Retno bahkan tidak tahu kapan orang itu datang.

"Adi?"

Retno memilih pergi diam-diam ke makam ini tanpa izin siapa pun. Dia pikir tidak akan ada yang tahu. Tapi ternyata masih ada yang senantiasa memperhatikannya dan itu orang yang sama.

Yang menjadi pertanyaan adalah, kenapa sang supir sampai berpikir untuk memperhatikannya hingga sejauh ini? Apa dia disuruh oleh Yana?

"Kamu... Sedang apa di sini?"

Pria itu tak langsung menjawab. Dia melangkah mendekat sambil membawa satu kantong plastik berisi bunga dan juga satu botol air.

"Saya tidak mau membiarkan Mbak Retno pergi sendiri. Jadi saya memutuskan untuk ikut dari belakang. Maaf jika lancang."

Lama-kelamaan, Retno merasa takut juga dengan orang ini. Memang ada sisi yang dilihatnya seperti Arjuna, tapi tetap saja Adi hanya orang asing yang patut diwaspadai tingkah lakunya.

"Kalau Mbak Retno memberi izin, saya ingin menaburkan bunga ini ke atas makam itu."

"Silahkan."

Kemudian Adi berjalan ke sisi makam lantas menyiram gundukan tersebut dengan air di dalam botolnya sebelum menaburkan bunga-bunga yang dia bawa. Setelahnya, sejenak berjongkok untuk mengucap sedikit doa.

Retno hanya menunggu sambil memperhatikan pria tersebut hingga selesai. Adi pun berdiri lalu kembali mendekatinya

"Saya yakin Mas Arjuna sudah mendengar apa yang Mbak Retno katakan tadi."

"Seharusnya kamu tidak perlu melakukan ini untuk saya. Jika saya tidak memerlukan bantuan siapapun, itu berarti saya hanya ingin bersama privasi saya."

"Kalau begitu maafkan saya sekali lagi. Saya tidak berniat apapun kecuali memastikan Mbak Retno baik-baik saja di dalam kesedihan."

"Dari mana kamu tahu saya sedang sedih?"

"Saya tahu, Mbak."

Sedikit mendengus pelan sambil memalingkan wajah, Retno lalu melanjutkan langkahnya pergi dari area pemakaman menuju mobil yang dibawa oleh Adi.

Hari ini semua orang menjadi begitu menyebalkan hingga membuatnya sangat menyesal sudah kembali. Di mana dia menemukan tempat untuk merasa nyaman menyendiri? Ingin rasanya ikut menghilang bersama angin.

"Asmaraloka mungkin telah pergi dijemput swastamita, tapi percayalah dia akan kembali besok bersama arunika. Tunggu saja."

Sontak Retno memindahkan atensinya pada Adi yang sudah memasuki kursi kemudi. Membenturkan sorotan melalui kaca spion dalam sambil mengerutkan kening, bingung.

"Kamu bicara apa?"

"Tentang pertemuan."

Tak habis pikir lagi, sejak kemarin pertama tatap muka, Adi sudah membawa segudang hal misterius ke dalam kepala Retno. Mulai dari tatapannya, senyumannya dan sekarang ucapannya. Sebenarnya dari mana orang ini berasal? Seingat Retno, Pak Irawan tidak pernah seaneh ini dulu.

"Terus terang, kamu membuat saya takut. Kamu terlalu melewati batasan sebagai seorang supir."

"Saya hanya melakukan apa yang sudah seharusnya saya lakukan. Mengawasi Mbak Retno dengan lebih dekat."

"Siapa yang menyuruhmu untuk mengawasi saya?"

"Itu tidak bisa saya katakan sekarang. Yang jelas, Mbak Retno harus menjalani dulu apa yang akan datang."

"Mas Yana, ya?"

Percakapan yang cukup mengundang tanda tanya besar di dalam benak Retno. Senyum Adi membuat kerutan di dahinya sulit hilang. Tak menjawab, pria itu langsung melajukan mobilnya.

__°°__

Raden Arjuna Balawani (Arjuna)

Raden Arjuna Balawani (Arjuna)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Asmara Gala Gandewa | Selesai Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang