1

242 1 0
                                    

"Lapor, Kolonel, empat orang tidak ada ketika apel!"

"Siapa mereka?"

"Schlickeisen, Wienersdorf, La Cueille, dan Yohanes."

"Dua Swiss, satu Belgia, dan satu pribumi," gumam Kolonel.

"Apakah sudah diperiksa kapan terakhir mereka terlihat di barak tentara?"

"Mustahil, Kolonel. Gerbang-gerbang ditutup jam enam dan setelah itu tidak dapat dibuka tanpa izin Kolonel."

"Perintahkan kopral dan tiga serdadu segera mencari mereka. Tutup gerbang-gerbang dan gandakan penjaga agar jika diperlukan dapat segera memberikan bantuan."

"Siap, Kolonel."

"Kasih juga laporan lengkap pencarian di kampung-kampung dan hasilnya."

"Siap, Kolonel! Ada perintah lain?"

Jawaban tidak ada diberikan dengan gelengan kepala, maka sersan itu pun memberikan hormat dan meninggalkan tempat. Kolonel bangkit dari kursi goyangnya. Rasa cemas tiba-tiba menyergap dirinya, meskipun beberapa saat sebelumnya wajahnya tampak seperti perunggu. Tidak satupun otot-ototnya bergerak. Kini, bagaimana pun, ia menjadi cemas dan gelisah. Ia perbesar nyala lampu dan melangkah ke suatu laci untuk mengeluarkan satu buku berukuran besar. Diletakkannya buku itu di atas meja dan mulai dibaca dengan cermat. Buku itu berisi ringkasan data-data tentara, deskripsi yang mengagumkan tentang seluruh angkatan perang Hindia-Belanda yang senantiasa diperbarui dengan ketepatan yang patut dipuji di markas Batavia.

"Schlickeisen," baca Kolonel; "orang Swiss, lahir di Steinbach, wilayah bagian Glarus, usia 21 tahun. Anak seorang pendeta." Ia membalik lembaran lain. "Wienersdorf, juga orang Swiss; lahir di Winterthur, wilayah bagian Zurich, usia 23 tahun. Anak seorang guru besar ilmu alam.

"La Cueille, orang Belgia, lahir di Cheratte, Provinsi Liege, usia 26 tahun. Anak seorang buruh tambang batubara di Jupille.

"Yohanes, lahir di Padang, Pulau Sumatra; usia sekitar 30 tahun. Ayahnya tidak diketahui. Ibunya seorang perempuan Nias, Mak Truni."

Kolonel menutup buku; ia tidak memperoleh keterangan lebih jauh dari buku itu. "Urusan yang bikin penasaran saja," gumamnya, "dan akan
menimbulkan kesulitan yang tak ada habisnya, kecuali bila terbukti karena mabuk."

Mengambil buku berukuran besar lainnya dari koleksi bukunya, ia membalik-balik beberapa halaman dan membacanya: "Schlickeisen dan Wienersdorf pernah direkomendasikan di bagian pendaftaran untuk dididik menjadi opsir. Mereka akhirnya dikeluarkan dari pendidikan karena terlibat dalam pemberontakan orang-orang Swiss di Semarang. Yang satu calon pengacara, sedangkan yang lain telah menyelesaikan pendidikannya dan memperoleh diploma sebagai guru ilmu alam dan kimia. Keduanya belajar di Zurich. Tampaknya tidak ada yang diketahui tentang La Cueille. Ia mengatakan pernah menjadi pembantu pembuat senjata di Meester Cornelis, tapi kemudian dipecat karena mabuk. Dan Yohanes, satu lagi orang Hindia hasil nafsu binatang, yang keberadaannya di dunia hampir merupakan malapetaka bagi dirinya."

Masih sejauh itu Kolonel membaca dan berkomentar ketika terdengar ketukan dan sersan muncul lagi. Dalam sikap militer yang menunggu sampai perwira atasannya bertanya. "Bagaimana, apa mereka ditemukan?"

"Tidak, Kolonel, kami telah memeriksa seluruh kampung tentara. Sepi sekali. Satu-satunya yang kami temukan hanyalah surat ini, yang ditujukan kepada Anda oleh Yohanes dan ditinggalkan di pondokannya."

Kolonel menerima surat itu dengan muka tak acuh, membukanya, dan sepintas melihat tandatangan yang tertera di dalamnya. Kemudian, sambil melemparkan surat itu begitu saja di atas meja, ia bertanya: "Apakah kamu temukan petunjuk bahwa mereka yang menghilang itu dalam keadaan mabuk?"

PARA DESERTIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang