Sekarang perlu dijelaskan bagaimana para desertir itu berada dalam iringan pemakaman itu dan juga bagaimana rencana pelarian mereka dirancang dan disempurnakan.
Untuk itu kita harus mundur beberapa hari sebelumnya dan mengambil tempat di barak benteng Kuala Kapuas. Menjelang tengah malam sebagian besar serdadu telah terlelap dan keheningan menyelimuti. Tidak, tidak betul-betul
hening; di salah satu pojok yang jauh terdengar percakapan lirih sehingga opsir jaga menegur."Diam yang di pojok itu! Apa yang kalian cakapkan larut malam begini! Apa hari tidak cukup panjang untuk bergosip?"
Teguran tajam itu merupakan peringatan supaya yang berbisik-bisik diam, tetapi itu tidak lama. Ketika keheningan kembali menyelimuti, diselingi suara dengkur mereka yang tidur, bisik-bisik itu terdengar lagi dari pojokan gelap yang sama, yang tadi ditegur oleh kopral penjaga.
Schlickeisen dan Wienersdorf melanjutkan lagi percakapan mereka yang terhenti dengan napas tertahan.
"Aku ulangi," kata yang pertama, "Aku sudah tak kuat lagi menanggung hidup ini!"
"Hush!" bisik kawannya. "Jangan kemrungsung. Kita tidak boleh tergesa-gesa, jadi harus sabar."
"Hanya itu yang dapat kamu katakan. Sabar! Sudah dua bulan kita di sini, tapi apa yang sudah kita dapat?"
"Lalu kamu mau apa? Orang tidak dapat memutuskan besi dengan tangan kosong. Kamu tahu, rencana kita ini taruhannya leher kita."
"Memang betul. Tetapi jika keadaan masih seperti ini, aku berniat terjun ke sungai saja."
"Itu berarti menjadi mangsa buaya; namun jika akhirnya sama-sama mati, itu merupakan cara yang buruk untuk memperoleh kemerdekaan, kecuali jika kamu menganggap kematian sebagai satu-satunya pembebas yang ada."
"Ya, aku lebih baik mati daripada terpenjara seperti ini."
"Tapi 'mati adalah mati'. Harus kuakui bahwa aku lebih suka...." Schlickeisen tidak sempat melanjutkan kalimatnya. Seseorang merayap di antara kolong tempat tidur mereka tanpa diketahui. Dua tangan ditekankan di bahu mereka, seolah memaksa mereka untuk diam. Lalu suara dalam nada yang paling lembut dibisikkan: "Jangan bicara keras-keras; kalian tidak tahu bahwa Kopral Dunkelhof telah memasang kupingnya selama seperempat jam terakhir ini. Jika ia kebetulan mencuri dengar apa yang kalian bicarakan, tentu kalian dilaporkan esok pagi."
"Untukku," gumam Wienersdorf, "ia boleh mendengarkan semua yang telah kukatakan."
"Kamu boleh katakan itu pada adik perempuanmu, tapi jangan padaku," kata si pengunjung, masih berbisik. "Seandainya Kolonel mendengar sepersepuluh saja apa yang kamu katakan, tentu kalian berdua sudah dibui sebelum matahari terbit. Kolonel kita tidak pernah main-main.”
"Oho! Jangan terlalu cepat. Siapa kamu? Orang yang mencuri dengar tidak pernah dapat dipercaya," kata Schlickeisen mengancam, meskipun dengan suara direndahkan.
"Jangan khawatir. Aku tidak akan mengkhianati kalian. Tidak penting siapa aku. Tapi lihat bagaimana kopral itu membuka lebar-lebar kedua kupingnya."
Dan benar saja, muncul suara bernada perintah, "Diam yang pojok itu. Aku tidak akan bicara lagi. Mereka yang tidak mau dengar akan tahu rasa."
Wienersdorf dan Schlickeisen menahan napas dan mengunci mulut beberapa saat. Tiba-tiba pengunjung mereka yang misterius itu membungkuk ke arah mereka dan berbisik nyaris tak terdengar: "Datanglah ke pondok Yohanes besok pagi setelah sarapan."
Tubuhnya menghilang di kolong tempat-tempat tidur dan segera lenyap dalam kegelapan. Kedua orang Swiss itu bungkam cukup lama. Ketika mereka yakin kopral itu terlelap, Wienersdorf bertanya kepada temannya dengan berbisik:
KAMU SEDANG MEMBACA
PARA DESERTIR
Historical FictionKisah pelarian para desertir melintasi liarnya hutan belantara Kalimantan.