Kedua orang Swiss itu marah mendengar pekikan konyol La Cueille, dan bahkan Yohanes sangat murka. Tetapi dengan sekali pandang ke arah si Walloon, penyebabnya sudah jelas. Selama mereka merencanakan pelarian, si Walloon menepati janjinya untuk tidak mencicipi minuman keras setetes pun. Ia tidak menyentuh jatah minuman itu, yang menurut aturan resmi memang menjadi haknya. Tapi merasa sayang pada minuman keras yang berharga
itu, ia meminta izin kepada Kolonel untuk mengambil semua jatah harian jenewernya untuk disimpan guna sebagai obat gosok kakinya yang bengkak. Izin ini perlu, karena peraturan mengharuskan semua serdadu langsung menenggak jenewernya dari pemasok resmi dalam ketentaraan. Tahu betapa kecanduannya La Cueille pada minuman
keras, Kolonel curiga si Walloon bermaksud menumpuk jenewernya
dalam jumlah yang cukup untuk pesta mabuk-mabukan, dan berharap bisa menyingkap kebohongannya, Kolonel memerintahkan si Walloon memperlihatkan kakinya untuk diperiksa. Kedua kaki si Walloon
memang terlihat merah dan bengkak akibat bagian atas lututnya sengaja dibebat. Maka permohonannya dikabulkan dan ia berhasil menyelamatkan seluruh jenewernya, yang pada waktu dibawa ke atas sampan telah terkumpul sekitar dua pint. Pada malam pelarian itu, selagi berbaring di atas sampan, ia mengeluarkan botol minuman dan menenggaknya sepenuh mulut. Oh, alangkah nikmatnya! Betapa
minuman itu menghangatkan tubuhnya! Tenggakan kedua menyusul yang pertama. "Train de plaisir de ma bouche à mon estomac," gumamnya ketika ia mulai merasakan dirinya dalam keadaan amat bahagia. Betapa membosankan menunggu datangnya keranda di atas sampan! Ia harus menghibur diri selama menunggu. Maka dihabiskannya botol pertama.Akhirnya keranda datang. "Puah, bau apa itu. Orang bisa pingsan dibuatnya! Perlu minum banyak sampanye supaya tahan; jenewer barangkali punya pengaruh yang sama." Maka si Walloon pun terus menenggak jenewer sampai menghabiskan botol kedua.
Ketika para bilian tiba, iringan pemakaman bergerak. La Cueille duduk menonton, bergeming, dan benar-benar bungkam. Pepohonan dan semak belukar yang dilalui di tengah malam kelabu terlihat seperti hantu-hantu. Di sana tegak berdiri sosok gelap benteng. Suara penjaga terdengar jelas, seruan biasa "Spada?-Siapa itu?" Segera ada perintah untuk mendekat.
Ketika iringan itu berhenti mengikuti
perintah, seorang sersan mendekat untuk memeriksa kedua sampan, tetapi begitu ia mengetahui salah satu sampan membawa peti korban kolera, ia mundur ketakutan dan memerintahkan sampan itu terus berlalu.Beberapa kayuhan lagi sampan-sampan itu akan melewati dermaga. Pada saat itulah si pemabuk tidak dapat menahan diri lagi, menongolkan diri dan memekik, "Enfonces les Hollandes, les têtes de fromage!"
"Dayung cepat," teriak Yohanes sambil meloncat ke depan untuk menutup mulut si Walloon. Ketika perintah untuk kembali dari benteng terdengar kedua kalinya, La Cueille, yang kini sudah mabuk berat, mengulangi makiannya, dan sebelum seseorang dapat mencegah, ia merebut senapan dan menembak ke arah benteng.
Kemudian terlihat seleret cahaya, diikuti tembakan kanon yang memecah udara seperti petir. Kedua sampan itu terguncang dan terseret ke depan, ditarik arus air surut yang deras ke tengah-tengah sungai yang luas. Dalam
sampan yang ditumpangi para bilian, dua lelaki tewas dan seorang terluka, tetapi para desertir selamat. Para pengayuh yang ketakutan mendayung sekuat tenaga, buih putih melayang dari lunas sampan, dan kecepatan mereka tetap bertahan sampai pagi merekah, ketika para buronan itu melihat laut terbuka di hadapan mereka!Ketika langit di timur berhiaskan warna ungu Wienersdorf mengambil teropongnya dan mengamati cakrawala. Dua kapal penjelajah tampak di kejauhan, berlayar dari arah barat laut, seperti menuju ke muara Sungai Barito. Agak jauh lagi ia melihat kepulan asap kapal-api, tetapi ia tidak dapat menentukan arahnya.
Di sebelah baratdaya, satu sampan dagang besar sebesar sampan mereka sedang menuju ke arah Sungai Dayak Kecil. Segera setelah melewati muara sungai mereka membelokkan ke arah barat. Salah seorang pendayung menyarankan untuk mendarat guna menguburkan mayat dan menutupi sampan dengan daun nyiur untuk mengelabui pengawasan kapal-kapal
penjelajah.
KAMU SEDANG MEMBACA
PARA DESERTIR
Historische RomaneKisah pelarian para desertir melintasi liarnya hutan belantara Kalimantan.