Hari ini adalah hari pertama Noora menjadi guru mengaji di masjid komplek rumahnya. Ia merasa sangat senang dan antusias karena menerima kepercayaan para warga komplek.
Noora menatap pantulan dirinya di cermin full body yang terpajang di sudut kamarnya. Ia berputar memastikan tidak ada yang salah dengan gamis yang ia pakai. Terlihat sangat cantik, ia memuji dirinya sendiri. Itu termasuk salah satu hobinya selain makan dan tidur.
Ia melangkah menuju nakas yang berada di samping ranjangnya dan mengambil tas yang memang sudah ia persiapkan lalu segera melenggang mencari Salwa untuk berpamitan.
"Umma,,," panggilnya sembari menutup pintu kamarnya.
"Iya sayang,,," jawab Salwa yang sepertinya dari arah ruang kerja baba nya.
Noora segera melangkahkan kakinya menuju ruang kerja Raka- ayah/ baba Noora yang berada tak jauh dari kamarnya.
Suara Salwa terdengar lirih dari balik pintu. Entah apa yang kedua orang tuanya bicarakan, ia tak bisa mendengar dengan jelas meski kini telinganya sudah menempel dengan pintu.Ceklekk
Noora membuka pintu itu perlahan dan mengintip sedikit, memastikan kedua orang tuanya tak menyadari jika ia sempat menguping. Ia segera masuk setelah retinanya menangkap sosok Salwa dan Raka yang terlihat serius. Yang artinya ia tak ketahuan.
"Umma," panggilnya sembari menutup pintu itu lagi.
"Iya sayang?"
Noora berjalan mendekati Salwa dan Raka yang kini menatapnya, ia segera mencium punggung tangan kedua orang tuanya secara bergantian. "Noora berangkat dulu ya, doain Noora biar semuanya lancar ya umma, baba."
Salwa tersenyum dan mencium kening putrinya lalu membelai ujung kepala putrinya lembut. "Pasti umma doain, hati-hati ya, atau kamu mau diantar Akmal?"
"Enggak ah umma, nanti malah repot kalau diantar Akmal."
"Kalau gitu diantar Ikmal aja." Sahut Raka memberi saran.
Lagi-lagi Noora menggelengkan kepalanya, mengingat kedua adik kembarnya itu tak mungkin mengantarnya secara cuma-cuma. Mereka akan selalu meminta imbalan jika harus membantu Noora, khusus pada Noora saja.
"Yaudah kalau gitu hati-hati, umma sama baba belum bisa nganterin, maaf ya."
Noora tersenyum lalu menghela nafasnya. Apa kedua orang tuanya akan terus menganggapnya seperti anak kecil? Ia kan sudah besar.
"Iya umma, lagian kan masjidnya deket jadi Noora bisa berangkat jalan kaki. Noora juga kan udah gede, udah 23 tahun loh."Raka tersenyum mendengar ucapan putrinya yang memang sudah terlihat cukup dewasa. Tak terasa waktu berjalan secepat ini. Padahal ia merasa baru kemarin ia menggendong Noora yang masih bayi keliling komplek. "Dulu waktu baba umur 23 tahun baba udah nikah loh sama umma." Sahut Raka yang membuat Noora mengerucutkan bibirnya, karena ia tahu kemana arah pembicaraan ini selanjutnya.
"Ihh, tapi Noora jangan nikah dulu, belajar dulu yang pinter, jangan tiru baba sama umma." Sahut Salwa tak setuju.
"Tuh,, ba dengerin kata umma."
"Tapi kan kalau Noora udah ada pandangan calon yang sesuai bisa langsung nikah, daripada jadi Zina." Sahut Raka yang memang ada benarnya. Lebih baik segera menikah ketimbang menjalani hubungan tanpa status yang hanya akan menambah dosa.
Noora menghela nafasnya menatap kedua orang tuanya yang kini masih berdebat. Memperdebatkan hal yang sama setiap harinya. "Udah udah, Noora berangkat dulu, assalamualaikum." Pamitnya yang langsung ngacir. Ia benar-benar tak tahan jika harus berada diantara mereka lebih lama lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kamu? Imamku?
Romancepertemuan yang tak disengaja antara Noora dengan seorang polisi muda yang akan mengubah hidupnya. "saya kan udah minta maaf, sekarang bapak mau apa lagi?" ~Noora Kayyisa Najma Al Irsyam "Jadi istri saya!"