02

926 150 10
                                    

"Om kenapa lihatin bu Noora terus? Om suka bu Noora ya?" Tanya Tata - keponakan Gama yang heran melihat om nya sendiri.

"Bu Noora cantik." Jawab Gama jujur.

Noora menghela nafasnya, menatap Gama yang sampai saat ini masih menunggu di sampingnya bersama keponakannya.
"Kenapa lihat saya sampai segitunya sih pak? Kita bukan mahram, jadi jangan lihat saya sampai segitunya." Tanya Noora mulai risih.

"Hemm? Emangnya nggak boleh ya lihat istri sendiri? Kata siapa bukan mahram?" Jawab Gama menjahili Noora.

Noora menghela nafasnya lagi dan memalingkan wajahnya merasa malu dengan apa yang ia lakukan kemarin. Benar-benar bodoh. Memang benar kata orang, penyesalan akan datang di akhir. Kalau di awal namanya?

"Saya kan udah minta maaf pak, jadi tolong lupain kejadian kemarin ya."

"Kenapa harus saya lupain?"

Satu kalimat itu membuat Noora membelalakkan matanya, menghadapi sosok Gama yang terus menerus menjadikan kejadian kemarin sebagai alasannya menjahili Noora. Tak lagi-lagi Noora melakukan hal konyol itu.

"Karena kemarin saya cuma khilaf pak, jadi sebaiknya dilupakan saja."

Lagi-lagi Gama tak menjawab, dan hanya memandang wajah Noora yang kini semakin kesal. Bahkan lebih kesal setelah ia melihat sosok Gama yang kini tersenyum padanya.

"Kamu sudah menikah?" Tanya Gama serius, dan menghiraukan perkataan Noora barusan.

Noora menatap Gama yang terlihat sangat penasaran, memangnya kenapa kalau Noora belum menikah? Apa itu jadi masalah?
"Privasi." Tegas Noora. Lagipula untuk apa ia menjawab pertanyaan dari laki-laki asing seperti Gama.

"Jadi belum ya?"

Kali ini Noora benar-benar tak ingin menghiraukan Gama dan mulai mengajar anak-anak yang sudah menunggunya dari tadi.

Gama tersenyum menatap Noora yang terlihat kesal. Terlihat sangat lucu, tak biasanya ia jahil seperti ini. Padahal Gama dikenal sebagai Harimau dikalangan teman-temannya. Namun, entah mengapa jika dengan wanita di sampingnya ini ia ingin terus menjahilinya. Tak seperti dirinya yang biasa. Mungkin karena pertemuan pertamanya dengan Noora yang meninggalkan kesan lucu baginya? Tapi apakah itu lucu? Tentu tidak bagi Noora.

"Baik anak-anak,,, ada yang belum mengaji?" Tanya Arsyad.

Semuanya menggeleng kompak, termasuk Tata yang berada tepat disamping Gama.

"Nahh, kalau begitu kita berdoa dulu ya sebelum pulang." Sambungnya.

Semua anak mulai berkumpul, mendekat ke arah Arsyad, sementara Noora kini mulai beranjak untuk mengawasi anak-anak dari belakang.

Sampai saat ini, Gama masih tetap menatap Noora, entah apa yang ada di pikirannya, tetapi baginya kini Noora menjadi pemandangan indah tersendiri untuknya.

"Alhamdulillah hirobbil alamin" Arsyad mengakhiri doa.

Anak-anak secara bergantian menyalami Arsyad dan Noora, terlihat sangat lucu dan menggemaskan, tetapi tidak dengan sosok Gama yang sampai saat ini masih menunggunya. Sangat menyebalkan.

"Emm? Pak Gama masih ada keperluan lain dengan saya?" Tanya Arsyad yang memang sudah penasaran dengan kehadiran Gama yang tak biasanya.

"Ohh, tadi saya mau jemput keponakan saya, sekalian pulang kerja." Jawabnya yang membuat Arsyad manggut-manggut dengan mulutnya yang membulat.

Noora hanya menghela nafasnya dan bergegas untuk pulang, ia bahkan tak tahu jika Gama adalah tetangganya. Benar, tetangga kompleknya.

"Saya pulang dulu ya, assalamualaikum." Pamit Noora.

"Waalaikumussalam." Jawab Gama dan Arsyad kompak.

"Biar saya antar." Celetuk Gama yang membuat Arsyad menatapnya curiga.

"Kita satu arah, jadi sebaiknya saya antar saja." Lanjutnya penuh harap.

Noora menggelengkan kepalanya, bagaimana bisa ia dibonceng laki-laki yang bukan mahramnya. Terlebih ia tak suka duduk di atas motor besar dengan warna biru putih itu yang pasti akan membuat pinggangnya sakit. Itu sama saja dengan menyiksa dirinya sendiri namanya.

"Kenapa?"

Noora membelalakkan matanya, bukannya seharusnya Gama sudah tahu jawabannya? Pertanyaannya benar-benar retoris.

"Saya nggak suka moge." Jawab Noora terpaksa.

"Permisi." Lanjut Noora yang kini melenggang dari serambi masjid.

Gama hanya menatap punggung Noora yang semakin lama semakin menjauh, begitupun dengan Arsyad yang masih memandang sosok Noora.

"Astaghfirullah.." gumam Arsyad yang membuat Gama terlihat kebingungan.

"Kenapa?" Tanya Gama sembari menunggu keponakannya selesai memakai sandalnya.

"Saya sudah memandang wanita yang bukan mahram saya."

*****

Noora memijit pangkal hidungnya, menatap layar laptop yang menemani malamnya. Entah sudah berapa kali ia menghapus kata demi kata yang sudah susah payah ia isi semenjak pulang dari mengajar anak-anak mengaji.

Sudah hampir dua bulan semenjak kelulusannya, tapi sampai saat ini ia bahkan belum mendapat pekerjaan.

Sebelumnya ia sempat berfikir untuk ikut mengajar di pondok pesantren milik kakek dan neneknya, namun bukankah itu artinya ia hanya mengandalkan kemampuan keluarganya?

Ia tak ingin di cap sebagai wanita yang hanya bisa mengandalkan keluarga, ia ingin membuktikan bahwa dirinya mampu dengan kelebihan dan kecerdasan yang ia miliki.

Meski begitu, ia benar-benar merasa lelah sekarang. Ia ingin jalan-jalan dan menghirup udara segar agar pikirannya kembali jernih.

Tanpa pikir panjang ia beranjak, keluar dari kamarnya dan menuju dapur untuk meminum segelas air putih.

Meski hanya berjalan ke dapur, bukankah itu sudah termasuk jalan-jalan? Anggap saja begitu.

Ia segera meletakkan gelas itu kembali ke tempatnya semula. Ia duduk sejenak, mengistirahatkan tubuhnya yang terasa akan copot jika ia berjalan lagi.

Tok,,,tok,,,tok,,,

Suara ketukan pintu terdengar dari luar, Noora memfokuskan pandangannya pada jam dinding yang terpasang tak jauh darinya, sudah pukul 9 malam, ia segera beranjak, memastikan siapakah orang yang bertamu malam-malam begini.

Ceklekk

Noora membuka pintu itu perlahan, menatap sosok lelaki dengan kaus hitam yang kini berada tepat di hadapannya.

Ia membelalakkan matanya, menyadari lelaki itu adalah Gama. Polisi yang sangat suka menjahilinya. Entah dosa apa yang ia buat selama ini. Sampai-sampai sosok bernama Gama itu terus mengganggunya.

Brakkk,,,

Tanpa aba-aba Noora menutup pintu itu dengan keras, sangat keras. Berharap lelaki itu bukan seorang Gama. Ia memegang gagang pintu itu sangat erat, dan mencoba mengatur nafasnya.

Sementara di luar, Gama hanya terdiam. Ia bahkan belum mengucapkan salam tapi Noora sudah menutup pintu itu lagi. Apa salah Gama sekarang?

Kamu? Imamku?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang