'Selamat Membaca'
"Haaaahh.. hahhhh.. hhhh.."
Alexa terbangun dari tidur panjangnya dengan napas memburu serta wajah yang basah oleh air mata.
🍁"Nona!" Fay yang baru saja tiba di depan pintu kamar berlari dengan mata berkaca-kaca mendekati Alexa yang telah sadarkan diri.
"Akhirnya, saya sangat merindukan nona Lexa." lanjutnya dengan air mata berlinang.
Mata Alexa mengerjap menatap sekelilingnya, ini adalah kamarnya di kastil Calister. Ia telah kembali ke rumah. Itu artinya ia masih hidup. Pandangannya lalu beralih menatap Fay yang menangis tersedu-sedu.
Alexa memajukan tubuhnya agar lebih mendekat ke arah Fay yang duduk pada kursi di sebelah ranjang, kemudian memeluk gadis bersurai cokelat itu dengan erat.
"Aku juga merindukanmu Fay." ucap Alexa sembari mengelus lembut punggung Fay.
Setelah merasa tenang Fay melerai pelukan mereka, "Saya akan memberitahu tabib, nona tunggu disini sebentar.."
Alexa menahan lengan Fay yang sudah akan beranjak, "Fay, apa ayah ada disini?"
Entah kenapa tiba-tiba wajah ayahnya terlintas dibenaknya, ia harus tahu bagaimana kabar pemimpin keluarga Calister tersebut.
Fay menggeleng pelan, "Tuan baru saja pergi se-jam yang lalu setelah memeriksa keadaan nona Lexa.."
Alexa mengangguk mengerti.
Selama sembilan belas tahun hidup Alexa, ayahnya adalah keluarganya yang paling jarang ia temui. Bahkan ia lupa kapan terakhir kali mereka berbincang dan makan bersama. Selama ini yang ada di otaknya adalah hanya tentang bagaimana mendapatkan hati putra mahkota. Mungkin keegoisannya lah yang membuat keadaan berubah, ia mulai bersikap acuh pada ayahnya sendiri karena hatinya hanya dipenuhi oleh nama pangeran.
Ada seberkas rasa bersalah yang mengisi hati Alexa saat mengingat tentang ayahnya. Padahal dulu sebelum mengenal pangeran ia cukup dekat dengan ayahnya, mereka bahkan sering bertukar cerita tentang Audrey-- ibunya.
Setelah Fay meninggalkannya, Alexa turun dari ranjang dan melangkah mendekati cermin besar di sudut ruangan. Berdiri diam menatap dirinya sendiri lama. Wajah pucat dengan beberapa freckles di area hidung, iris mata lavender, serta surai hitam legam panjangnya. Sama sekali tidak ada yang berubah dengan dirinya, itu berarti wanita paruh baya di akhir mimpinya itu bukanlah dirinya.
Alexa termenung sejenak.
Jika diingat lagi, mata sebiru lautan serta surai abu-abu keperakan wanita itu sama persis dengan yang di miliki oleh ayahnya. Sepertinya wanita itu benar-benar keluarganya.
Semua perkataannya saat itu, apakah kebenaran?
Tubuh Alexa luruh ke lantai. Masih teringat jelas betapa mengerikannya mimpi itu, atau bisa dibilang betapa mengerikannya masa depannya. Air mata yang selama ini selalu berhasil ia tahan akhirnya menetes, hatinya perih mengingat semua kemalangan yang menimpa keluarganya. Untuk sekali ini saja Alexa ingin menangis, ia harus meredakan perasaan sesak yang terus menggerogotinya.
Sungguh tidak pernah Alexa sangka bahwa cintanya sendiri yang akan membuatnya meregang nyawa. Ia menyentuh leher putih miliknya, rasa sakit yang dirasakannya saat itu terasa sangat nyata dan ia sama sekali tidak ingin merasakannya lagi.
Ia tidak akan pernah mengulang takdir menyedihkan itu!
Menguatkan tekad, Alexa mengangkat kepalanya yang menunduk matanya memicing tajam ke arah cermin di hadapannya. Hal pertama yang harus ia lakukan adalah membuang jauh-jauh perasaannya pada pangeran David, pria brengsek sepertinya sama sekali tidak pantas untuk dicintai. Tidak akan pernah ia lupa bagaimana tatapan dingin pria itu saat melihat jasad tak bernyawa miliknya. Bahkan Fay yang tidak ada sangkut pautnya pun harus kehilangan kedua tangannya hanya karena ikut membela Alexa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Villainess Illusion
Fantasy---- Alexandra Whitney Calister atau lady gila dari keluarga Calister, begitulah orang-orang mengenalnya. Alexa mungkin cantik dan kaya raya namun dalam hal kesopanan gadis itu sangatlah minus, bahkan bangsawan di sekitarnya lebih sering menyebutnya...