Waktu Pulang

463 61 10
                                    


Suara klakson mobil Irene berbunyi dari luar, Wendy langsung buka mata dan beranjak bangun, sedikit benerin selimut yan dipakai Abraham lalu melenggang pergi keluar dari kamar.

Di pertengahan jalan Wendy melirik ke jam dinding yang menunjukan pukul 21:11 dan begitu pintu depan dibuka, ada Irene yang dorong pagarnya sendiri.

Wendy hela nafas dan senderin bahunya ke sisi pintu, lihatin intens manusia itu yang sekarang sukses kunci pagar rumah mereka.

Cardigannya semakin dililitkan ke tubuh, cuaca dingin bikin mood kurang bagus, apalagi malam begini harus lihat wajah Irene yang nyengir polos didepan wajah.

“Ngapain klakson kalau bisa buka pagar sendiri,”

Cengiran Irene semakin lebar, bahkan dia garuk pipinya iseng. “Kebiasaan.”

Look pulang kerja seperti biasa, suit yang disampirin ke lengan, sebelah lengannya lagi dipake jiinjingan tas laptop, gak ada yang berubah, bahkan rambut Irene yang selalu tergerai jadi objek yang Wendy hafal.

Wendy mukanya jutek, tapi dibalas senyuman kecil dari Irene yang dapat perlakuan care seorang Wendy. Dahinya ditempeli telapak istrinya, lalu turun ke leher untuk cek suhu.

“Dingin.”

“Ac mobil aku nyalain terus sih,”

“Ya kenapa lemburan lagi, aku tanya sekarang.” tangan Wendy melipat di depan dada, total jengkel sama manusia idiot ini.

“Awal masuk kerja lagi, banyak kasus baru dan tadi ada dua kali sidang.”

Irene coba jelasin pake satu kali tarikan nafas, dia gak masalah Wendy jadi marah sekarang, karena ya Wendy pasti ngerti soal kerjaannya yang selalu menumpuk dan penuh.

Sekali lagi Wendy hembusin nafasnya, beralih dia peluk leher Irene erat, malam ini agak pening—tapi Irene kasih usapan di punggungnya itu sedikit bikin rileks.

Saling menghangatkan ditengah suhu malam hari, keduanya sama-sama sayang dan sama-sama khawatir. Wendy khawatir karena dia sayang pasangannya, dan Irene gak ada niat bikin khawatir karena dia terlalu sayang Wendy.

Waktu berjalan dengan semestinya, kondisi begini karena memang seharusnya terjadi.

Irene lepasin pelukan mereka, tatap kedalam bola mata Wendy yang jernih, ya dia segini sayangnya, asli. Dan ciuman tercipta untuk sapaan karena kembali pulang.















;

“Abraham udah tidur?” tanya Irene setelah keluar dari kamar mandi.

Wendy ngangguk dan ambil handuk dari tangan Irene, terus jalan kearah gantungan di pojok kamar, taruh handuk yang dipake Irene tadi disana.

“Tadinya mau ikut nungguin kamu, tapi katanya gak kuat.”

“Udah makan tapi kan kalian?”

“Sudah. Kamu kalau mau makan ayo, aku temenin.”

Selain gak bisa tidur kalau gak ada Wendy, Irene juga gak bisa makan kalau gak ditemani Wendy. Semuanya jadi serba ketergantungan, terbiasa dilayani dan itu ngaruh sekali.

Irene merangkak naik keatas ranjang, ikut merebah disamping Wendy yang lebih dulu ambil posisi nyaman sambil peluk gulingnya hadap samping.

“Aku udah kenyang tadi sambil pulang aku take away makanan.”

Wendy berdehem, rasa ngantuknya datang lagi. Yang ini lebih kuat karena Irene sudah ada di depan mata, bahkan peluk pinggangnya posesif dari belakang.

Terus Irene sedikit melongok kedepan, lihatin wajah istrinya itu yang terpejam. Lampu kamar padam dan sisain penerangan dari lampu kecil diatas meja.

“Sayang,”

Wendy berdehem lagi, Irene semakin mepetin tubuhnya cari hangat. Tengkuk Wendy di ciumin sama dia, bahkan tangannya bebas usap paha Wendy naik turun sedari tadi.

“Aku mau bobo, aku ngantuk.”

Tibalah moment paling menyebalkan menurut manusia Bae, ini yang dibilang waktu pulang sama-sama capek ya begini.

Tapi kan yang capek pulang kerja itu Irene, bahkan Wendy ada di rumah sedari sore.

Ngerti kan Wendynya Irene yang lengket begini pasti minta tuntasin hormon. Wendy gak berani nolak langsung, tapi diiyain dianya capek.

Iya, capek nahan ngantuk.

Irene terus kasih sinyal, segala macem disentuh badan istrinya itu—secara halus, lembut. Bujukan yang mungkin untuk malam ini Wendy gak bisa wujudkan.

“Mending kamu tidur juga deh,”

Irene mencebik waktu Wendy lepasin pelukan Irene yang gak mau lepas, matanya terbuka lebar dengan bola mata yang lumayan merah. Wendy beneran butuh waktu tidurnya.

“Aku gak bisa tidur. Bantuin.”

Wendy berdecak, ranjang mereka berdenyit karena Irene ubah posisi jadi duduk. “Bantuin gimana sih.”

“Kamu beneran mau bobo?”

Wendy angkat bahunya sekilas, lengannya dipake tutup mata, gak mau menatap Irene yang tatap dia instens, sedikit tahan nafsu mungkin.

Kadang kalau dia balik tatap mata Irene itu urusannya beda. Seperti mengiyakan ajakan, padahal niatnya gak gitu.

Karena Wendy gak bersuara lagi, akhirnya Irene inisiatif sendiri buka kancing baju tidurnya lalu dilempar kesamping sembarangan.

Wendy angkat lengan yang nutupin matanya karena rasain celana tidurnya ditarik kebawah. Irene dengan cengiran polosnya kelihatan makin menjengkelkan, tapi cakep, tapi eneg, tapi suka.

“Tau kalau mau main kenapa mandi,”

Wendy pasrah pada akhirnya, soalnya ngadepin manusia model begini susah.

Irene ketawa kecil dulu sebelum merunduk cium perut Wendy yang masih kerasa harumnya gimana. “Biar enak. Kalau aku gak mandi kamu bawel.”

“Bawel gini juga kamu suka.”

Irene sukses diatas, sedikit tumpu badannya pake lengan dan merunduk sekali lagi untuk rasain gimana manisnya bibir Wendy yang kemerahan dibawahnya.

Dan Wendy gak menolak waktu Irene pangut bibirnya selembut mungkin. Sedikit menuntut dan minta balasan.

Pasrah, Wendy kasih izin lagi, bahkan dia usap belakang leher Irenenya itu lembut niat menggoda pake sedikit lenguhan halus.

Watermelon Sugar (Wenrene) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang