4 - Tata Surya

436 100 51
                                    

Anindya membuka pintu gudang dengan malas. Cewek itu mengerjakan hukumannya bersama Bara. Entah kerasukan setan apa Bara mau membantunya. Cowok itu dengan telaten memindahkan barang-barang yang berantakan dan membersihkan lantai yang kotor, sementara Anindya hanya diam melihatnya. Anindya, syok berat. Ini kan hukumannya, kenapa cowok itu yang mengerjakannya?

"Bar, sini gue aja yang nyapu. Mending lo keluar biar gue sendiri yang masuk." Anindya mencoba mengambil ahli sapu yang ada di tangan Bara. Namun cowok itu dengan kuat memegangnya. "Bar!"

"Udah lo diem aja, duduk manis kayak muka lo." kata Bara dengan santai. Cowok itu masih melanjutkan bersih-bersihnya.

Anindya memalingkan wajahnya, bukan karena salting. Ia justru merasa jijik. Kalau bisa, Anindya akan memuntahkan kembali sarapan paginya.

"Salting lo, ya?" Anindya menoleh, ternyata Bara melihatnya.

"Najis, gue salting sama lo. Di hati gue cuma ada Jeno!"

"Gantengan gue kali, Nin. Daripada si Jeno-Jeno itu."

"Gantengan Jeno lah!" Anindya menolak mentah-mentah. Enak saja Jeno miliknya di sama-sama kan dengan Bara.

Bara menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia sudah tidak minat lagi melanjutkan percakapan antara Anindya dengan Jeno yang tidak tahu bahwa cewek itu hidup.

"Padahal gue tadi mau ngajak lo pulang aja, Bar." Anindya mengambil salah satu kursi yang sudah lapuk, namun masih bisa Anindya duduki. Karena Anindya memang tidak seberat itu.

Sapu yang di gerakkan oleh Bara terhenti. Cowok itu menatap ke arah Anindya. Kemudian ia menggeleng-geleng lagi. "Dosa, udah di hukum karena buat dosa. Gak lo lakuin, tambah dosa lagi."

Anindya menepuk-nepuk tangannya. Ia tidak pernah melihat sisi Bara yang seperti ini. Cewek itu merebut sapu yang ada di tangan Bara, pegangan Bara pada sapu itu mengendur. "Udah gue aja, mau nambah pahala."

"Emang lo punya pahala?"

Anindya menatap tajam Bara. Kurang hajar, gini-gini Anindya juga punya pahala. Walaupun seperti nya hanya setitik tahi lalat.

Melihat Anindya yang diam, Bara langsung memegang bahu Anindya. "Iya-iya, gue minta maaf deh, Nin."

"Bercanda, Bar. Lagian gue sadar diri kok."

"Jangan gitu, Nin. Serem jadinya kalo lo nerima kenyataan, mending lo marah-marah aja ke gue."

Detik berikutnya, raut wajah Anindya langsung berubah masam. Bara memang minta di pukul, ingin sekali rasanya Anindya memukul wajah yang selama ini di incar oleh siswi di SMA mereka. Sepertinya ada yang salah dengan penglihatan mereka, bisa-bisanya mereka menyukai orang seperti Bara. Anindya sih ogah!

Tak memperdulikan Bara, Anindya tetap melanjutkan bersih-bersih nya. Sedikit lagi hukumannya akan selesai. Dan ia bisa berbaring dengan pacarnya yang empuk nan nyaman itu dirumah.

Anindya mengangkat barang-barang yang ada di luar gudang, yang belum di angkat oleh Bara. Mengusap peluh yang membasahi wajahnya, Anindya tersenyum senang. Akhirnya, sudah selesai!

"Nin lo mau balik?"

Anindya menutup telinganya, kenapa cowok itu tidak melihat dengan matanya sendiri. "Menurut lo?"

"Udah selesai sih, tapi ini masih kotor." Bara menunjuk di tempat nya ia berdiri.

Anindya menggeram kesal, tentu saja kotor. Lantai itu di pijak oleh sepatu Bara, tidak tahu Bara habis darimana bisa sekotor itu. "Bersihin aja sendiri."

"Gue bilangin Bakso Urat lo." Bakso Urat adalah panggilan sayang siswa siswi terhadap Bu Ratih sang guru BK tercinta.

"Terserah."

Anindya sudah malas, biarkan saja Bara melakukan apa. Pokoknya sekarang ia ingin cepat-cepat pulang ke rumah.

Melihat Anindya yang sudah hampir jauh meninggalkannya, Bara mengambil tasnya. "Nin, bareng dong kalo gitu!"

***

Anindya membulatkan matanya, tidak hanya di sekolah. Tetapi di rumah juga ia menemukan orang-orang aneh, sepertinya hidup Anindya hanya di isi oleh orang-orang yang aneh.

Tata menangis di dalam kamarnya, dan Anindya tidak tahu apa penyebabnya. Padahal ia ingin melemparkan dirinya ke kasur, menikmati betapa empuk pacarnya itu. Namun langsung di urungkan nya karena mendengar suara tangisan dari dalam kamarnya. Hampir saja Anindya mengira bahwa itu adalah kuntilanak.

"Kenapa sih? Cerita dong." Anindya menepuk-nepuk punggung Tata yang naik-turun.

"Tata di tolak, Kak."

Anindya menaikkan satu alisnya. "Di tolak? Di tolak sama siapa? Siapa yang berani nolak lo?"

"Surya, Kak." kata Tata sambil menghapus air mata nya.

Anindya mengepalkan tangannya. Wah, kurang hajar si Surya ini. Berani menolak Adik kesayangannya yang cantik dan lemah lembut ini.

"Kan Tata bilang. 'Mau jadian gak? Nanti kalo jadian nama kita kan nyambung. Jadi tata surya gitu'."

Anindya melotot mendengar ucapan yang keluar langsung dari mulut Tata. Namun ia masih diam, sampai cewek itu berbicara dan menceritakan semuanya.

"Terus kata dia 'Maaf, jadian sama boga aja ya'." Air mata Tata kembali keluar. "Di situ Tata mikir, Kak. Kenapa dia gak bilang sekalian aja jadian sama busana atau rias. Kan tetep cocok tuh."

Anindya membuang nafasnya pelan. Kasihan sekali Adiknya yang satu ini. Anindya memeluk Tata. "Kamu tenang aja, nanti Kakak cariin busana sama rias untuk kamu. Atau Kakak cari Surya yang lainnya."

Tata mengangguk-angguk. "Makasih, Kak. Tapi aku mau sama boga yang kayak dia saranin."

"Boga jahat, dia temenan sama Surya. Udah sama busana aja kamu, biar baju kamu cantik-cantik. Atau sama rias aja deh, biar kamu pinter dandan."

Inilah sisi terang Anindya, ia akan berbicara lembut kepada Tata. Karena di bandingkan dengan Anindya yang kasar, Tata berbanding terbalik dengannya.

Walaupun Tata juga sedikit aneh. Nyatanya, memang tidak ada yang benar di keluarga Anindya.

***
☁️: Kamu tim mana nih?

Tata-Surya

Tata-Boga

Tata-Busana

Tata-Rias

atau Tata yang lainnya? 😔

Freak RelationshipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang