*****
"Katanya, semua yang hidup di dunia itu tidak sempurna. Tapi, kalimat itu sepertinya tidak berlaku untuk kedua orang tuaku."*****
1 Tahun Kemudian
Seorang remaja berusia enam belas tahun berjalan menyusuri lorong sekolah sembari membawa buku besar hasil belajarnya selama satu tahun di SMA Trisatya.
Banyak murid yang memuji wajahnya disepanjang jalan, tentu saja karena parasnya yang tampan dengan rahang tegas serta tatapan matanya yang tajam.
Alvino Abyan Mahendra, cowok dengan lesung pipi itu sesekali tersenyum tipis sambil tetap melanjutkan langkah jenjangnya menuju halaman sekolah, tempat sepedanya terparkir sekarang.
Saat Vino hendak menaiki sepedanya, atensinya teralihkan karena suara seseorang yang sangat dirinya kenal memanggil namanya.
"WOY VIN!!"
Vino menoleh melihat sahabatnya yang berlari kecil ke arahnya sambil membawa buku rapor di tangan kirinya. Cowok bernametag 'Varen Ardiansyah' itu merupakan sahabat Vino sedari SMP.
"Orang tua lo gak dateng, Vin? Jangan bilang ... mereka sibuk ngurusin adek lo? Adek lo hari ini juga rapotan, 'kan?" tanya Varen menggebu-gebu.
"Iya, mereka pasti nyesel. Secara... nilai gue, 'kan paling tinggi."
Varen tertawa mendengar pernyataan dari Vino. Bukan karena mendengar omong kosong sahabatnya yang mendapat nilai paling tinggi, tapi karena mendengar pernyataan jika orang tua cowok itu akan menyesal jika tidak datang. Sungguh, itu diluar nalar!
"Halu lo kecilin dikit! Dianggep ada sama Ayah lo aja enggak! Apalagi ngehargain usaha lo itu!"
Vino tertegun sejenak. Lalu, detik berikutnya cowok itu menyeringai. "Lah... daripada lo, percuma nilai bagus tapi gak ada yang liat!" jawab Vino tidak kalah sarkas.
Varen merupakan satu-satunya sahabat tempat Vino berkeluh kesah. Cowok itu jelas tahu mengenai kehidupan sosok Varen, begitupun sebaliknya.
Varen memilih kabur dari rumah sejak Ayahnya menikah dengan wanita lain. Sedangkan Ibunya lebih dahulu pergi meninggalkannya dengan keluarga baru Ayahnya. Sejak saat itu, keluarga hangat yang dulu Varen rasakan tidak ada lagi. Varen dengan pikiran labilnya memilih pergi meninggalkan keluarga ayahnya dengan tujuan mencari ibunya. Dan kini, remaja itu hidup sendiri, mencukupi kebutuhan seorang diri dengan mencari pundi-pundi rupiah. Varen pintar, tentu saja cowok itu sekolah dengan beasiswa.
"Peringkat berapa?"
"Lima," jawab Vino membuat Varen mengernyit tidak percaya. "Dari belakang," lanjutnya yang langsung dihadiahi tawa oleh Varen.
"Usaha lagi, Vin. Yang penting, 'kan masih ada yang dibawah lo! Contohnya gue." Vino mengangkat alisnya tinggi, sungguh tidak mungkin seorang Varen mendapat peringkat dibawah dirinya.
"Dapet berapa lo?" tanya Vino penasaran.
"Dua tujuh." Varen tersenyum sambil sesekali melirik ke arah Vino yang menatapnya heran. "Iya, dua tujuh! Angka tujuhnya ilangin, jadi tinggal dua!"
Vino yang mengerti maksud dari ucapan sahabatnya itu refleks memberi pukulan kecil pada bagian kepala. "Setan lo!"
"Mau tukeran rapot, gak? gua takut lo bakal dapet suprise dari Ayah lo itu!" tawar Varen.
"Lo ngasihanin gue?"
"Bukan gitu, 'kan nanggung rapot gue, udah bagus tapi nganggur. Mending gue kasih ke lo, mungkin aja Ayah lo seneng liat nilai lo yang naik drastis. Walau itu bukan nilai lo, sih."
KAMU SEDANG MEMBACA
VASKALA UNTUK MIMPINYA
Teen Fiction"Lo yang nggak punya tujuan hidup yang jelas, tau apa?" "Terus, lo yang nggak pernah ngerasain kehilangan, tau apa?" Kedua remaja itu kemudian saling melempar tatapan sinis. ---- "Kenapa... sikap Ayah beda antara aku sama Askar?" "Masih tanya kenapa...