*****
"Bagaimanapun, benda paling tajam itu berasal dari mulut."
- Kala
*****
Tidak terasa waktu semakin cepat berlalu. Hubungan Vino dengan tetangganya, Thea juga semakin dekat, walau cowok itu memang lebih banyak menghabiskan waktu liburan semesternya diluar rumah. Tidak jarang dia menginap di kost-an tempat Varen tinggal, misalnya saja seperti malam ini.
Vino merasa bosan. Sahabatnya itu sedari tadi sibuk dengan buku-buku miliknya, seolah dirinya diperlakukan sebagai 'kacang' saat ini. Seharusnya sebagai sahabat, cowok itu peka! Jika dirinya sering kali mampir ke tempatnya, maka rumahnya tidak bisa jadi tempat ternyaman.
Vino menghela napas berat. "Ren, tutor pinter dong," ucap Vino seraya menatap sahabatnya yang sedari tadi sibuk mencatat rumus matematika pada buku catatan kecil miliknya.
Varen yang mendengar itu lantas menghentikan sejenak kegiatan menulisnya. "Jangan, otak minim lo itu pasti nggak mampu," jawab Varen sekenanya.
Vino dibuat semakin kesal mendengar balasan dari sahabatnya. Seharusnya, cowok itu menghibur dirinya atau minimal menyemangatinya saat dia menanyakan hal penting seperti itu. Namun, kalimat pedas yang justru Vino dapatkan. Varen sialan memang! Hei! Walau terlihat berandalan, Vino juga memikirkan tentang masa depannya.
"Lo juga harusnya sadar, Ren. Tanpa otak encer lo itu, ibaratnya lo hanya tubuh tanpa isi. Kosong. Dengan kata lain, gak ada gunanya!" ujar Vino penuh penekanan.
Varen terkekeh ringan. Sungguh, sahabatnya itu mudah sekali terpancing emosi. Detik berikutnya senyuman smirk terpampang jelas di wajah cowok itu. "Emang, lo tanpa kanvas sama kuas lo itu, merasa berguna gitu? Tanpa kedua alat itu, lo mana bisa cari duit," balasnya santai.
Sungguh, ini benar-benar menjengkelkan. Varen selalu saja bisa membalas setiap kalimat yang Vino lontarkan. Perlu diingat! Jika Vino memang selalu kalah jika harus beradu mulut dengan seorang Varen Ardiansyah. Ralat, bukan kalah. Tapi... mengalah dengan tidak ikhlas!
*****
Seorang remaja yang akan menginjak usia lima belas tahun itu sibuk berkutat dengan tabel periodik miliknya. Cowok itu memainkan pulpen yang ada di sela-sela jarinya seraya memejamkan mata, sibuk menghafalkan nama unsur-unsur kimia yang ada disana.
Askara Rasya Mahendra, cowok dengan seribu ambisi untuk menjadi nomor satu itu akan resmi memasuki masa putih abu-abu tahun ini. Cowok itu sudah memantapkan niatnya untuk masuk ke jurusan IPA. Maka, dirinya harus berusaha lebih keras agar nanti dapat setara dengan teman-teman sekelasnya, atau mungkin... lebih?
Askar menghentikan sejenak kegiatan belajarnya, cowok itu beralih melirik jam dinding yang ada di kamar. Jam menunjukkan pukul sembilan malam dan satu orang yang ada di otaknya itu sangat menganggu pikirannya dari tadi, Kakaknya. Apakah saudaranya itu tidak pulang lagi malam ini?
Suara gesekan pintu berhasil menghentikan lamunannya.
"Kar, kenapa jam segini belum tidur? Belajar boleh tapi jangan lupa sama kesehatan kamu." Itu suara Lily.
"Iya Ma," jawab Askar singkat tanpa menoleh.
Askar kembali bersuara ketika Lily hendak menutup kembali pintu kamarnya. "Ma, Abang kemana sih? Kenapa akhir-akhir ini jarang ada di rumah?" tanyanya penasaran.
KAMU SEDANG MEMBACA
VASKALA UNTUK MIMPINYA
Teen Fiction"Lo yang nggak punya tujuan hidup yang jelas, tau apa?" "Terus, lo yang nggak pernah ngerasain kehilangan, tau apa?" Kedua remaja itu kemudian saling melempar tatapan sinis. ---- "Kenapa... sikap Ayah beda antara aku sama Askar?" "Masih tanya kenapa...