03. Hari Pertama

24 9 20
                                    

*****

"Dinasehati ditempat umum? Aku rasa harga diriku direndahkan saat itu juga."

- Vino

*****

"Jadi, lo sama adek lo itu sekarang satu sekolah? HAHAHA--hmph!" Vino refleks membekap mulut Varen saat dirinya tahu cowok itu akan mengeluarkan tawanya lagi.

Vino merasa dongkol ketika banyak pasang mata yang memperhatikan mereka dengan tatapan sinis. Sahabatnya itu sedari tadi menyerocos tidak jelas tanpa memikirkan posisinya dimana sekarang. Terlebih lagi, suara cowok itu yang terdengar seperti duplikat toa rusak.

"Di rem, bego! Telinga gue pengang!" ketus Vino seraya mengusap telinganya, memastikan jika alat pendengarannya itu masih berfungsi dengan baik.

Varen menyingkirkan tangan Vino dari mulutnya kasar. "Bacot. Cepet jauhin tangan lo dari mulut suci gue ini!" hardiknya seraya melayangkan tatapan tajam kearah sahabatnya itu.

Vino menghela nafas jengah. Cowok itu memilih menyeruput kuah bakso, dilanjutkan dengan meneguk habis es teh miliknya. Ya, kedua remaja itu tengah berada di kantin sekarang.

"Jadi, kenapa lo bisa satu sekolah sama adek lo? Eh--" Varen berpikir sejenak sebelum cowok itu mengganti pertanyaan lain. "--salah, maksud gue... lo yang kenapa, kenapa lo bisa masuk ke sekolah elit ini? Bukannya, otak lo minim?" tanya Varen seraya mengusap dagunya.

Varen mengaduh kesakitan saat Vino dengan sengaja menempeleng kepalanya setelah dirinya mengatakan hal itu.

"Jaga mulut, lo! Jangan otak doang yang di sekolahin!" tegur Vino penuh kekesalan.

Sebenarnya, sifat Vino dan Varen tidak jauh berbeda. Keduanya sudah terbiasa melontarkan kalimat sarkas yang tidak jarang membuat orang lain sakit hati jika tidak kenal dekat dengan mereka. Tetapi, biasanya Vino melihat kondisi terlebih dahulu sebelum mengucap kalimat sadis andalannya. Berbeda dengan Varen yang terkesan blak-blakan.

"Kalau soal itu nyusul, soalnya belum ada yang ngajarin." Varen mengatakan itu seraya tersenyum kikuk. Padahal, Vino tahu ada sirat kesedihan di mata cowok itu, membuat dirinya tiba-tiba merasa bersalah. Vino tidak bermaksud menyinggung keluarga Varen, hanya ingin sedikit menasehati sahabatnya itu tadi.

Suasana mendadak hening setelah pertengkaran kecil yang tadi sempat tercipta. Kedua remaja itu sibuk dengan pikirannya masing-masing. Varen masih setia memakan roti yang ada ditangannya lamat, sedangkan Vino beralih berkutat dengan ponsel pintarnya.

"Jangan lupa besok latihan," ujar Vino yang masih setia menatap layar ponselnya.

"Hm, kalau inget. Omong-omong, jadi nambah satu dong." Vino mengangkat alisnya tinggi, tidak mengerti maksud dari perkataan yang diucapkan Varen.

"Apanya?" tanyanya seraya memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celana.

"Beban, lo." Varen menyeringai, sedangkan Vino hanya mengedikan bahunya acuh sebagai respon. Tidak menyalahkan ucapan Varen kali ini.

*****

Vino menyampirkan tas disebelah bahunya hendak menuju parkiran. Cowok itu ingin cepat-cepat pulang sekarang karena harus menyelesaikan tugas yang tiada habisnya. Bagaimana tidak, dihari pertama sekolah saja tugas yang diberikan oleh guru mapel masing-masing begitu membludak.

Sebenarnya, Vino benci belajar. Tapi nasihat yang baru saja diberikan oleh guru biologinya--wali kelasnya itu membuat dirinya berpikir ulang. Kala harus mengusahakan nilainya naik di setiap jenjang. Mengingat nilainya yang anjlok di semester kemarin, cowok itu berpikir masih ada kesempatan untuk berubah.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 29, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

VASKALA UNTUK MIMPINYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang