BAGIAN 8 Prinsip Hidup: Papa

17 8 0
                                    


Happy Reading


Sabit turun dari taksi, ia benar-benar mendatangi toko buku di sini. Senyum Sabit mengembang ketika melihat halaman depan toko. Dengan langkah ringan, Sabit melangkah masuk ke dalam. Penjaga toko menyambut Sabit dengan cukup ramah, yang Sabit balas dengan senyuman yang tak kalah ramah.

Bau-bau buku baru menguar di penciuman Sabit. Sabit selalu suka dengan bau itu. Ia menarik napasnya dalam-dalam, dan menghembuskannya secara perlahan. Kini, ia membiarkan kakinya melangkah sesukanya. Mendatangi setiap rak-rak buku yang tertata rapih di sana.

Langkah Sabit terhenti pada satu novel dengan Cover berwarna hitam. Sabit cukup mengenali novel itu. Ia turut tersenyum Bangga, Novel yang menjadi project terakhinya sebelum ia di pecat. Dan lihatlah novel itu, berjejer diantara novel-novel best seller lainnya. Sabit tidak pernah salah dalam memilih karya tulisan. Dari beberapa karya yang sudah ia bantu untuk terbit, 4 di antaranya best seller--yang mengalami penjualan yang sangat melunjak.

Dan kini, Sabit tengah berpikir, apakah perushaan penerbit itu tidak menyesal telah membuang orang se-kompeten Sabit?

Sabit kembali melangkah, tidak ada niatan untuk membeli, hanya sekedar melihat-lihat Novel yang Sabit berhasil meyakinkan penulisnya bahwa novel itu berhak untuk diterbitkan. Melihat semua novel-novel itu ada di sini, membuat Sabit tersenyum senang.

"Mbak Sabit?" suara itu membuat Sabit menolehkan kepalanya. Ia mengerut heran ketika mendapati gadis itu berada di sini.

"Beneran, Mbak Sabit?" gadis itu tampak takjub. Tak menyangka akan menemukan Sabit di sini.

"Pinka?" gadis itu mengangguk senang.

Awalnya Sabit sempat meragu, namun anggukan dari gadis itu membuatnya lega. Gadis itu adalah salah satu penulis yang tidak percaya diri dengan tulisannya. Yang tulisannya sangat enggan untuk diterbitkan. Namun, bukan Sabit namanya kalau tidak bisa membujuk seorang penulis.

"Huh! Kirain Mbak Sabit udah nggak kenal lagi sama aku,"

"Kamu kok ada di sini?" kening Sabit masih memperlihatkan kerutannya.

"Ada pertemuan jumpa fans, Mbak," Pinka menebar senyumannya.

Sabit sedikit takjub. Ekspresi terkejut tidak terelakkan dari raut wajahnya. Pasalnya, Pinka adalah penulis yang tidak ingin pembacanya mengetahui identitasnya. Tapi lihatlah sekarang, gadis itu sudah mengalami perkembangan dalam dirinya, dan Sabit cukup senang melihatnya.

"Waw, udah berapa buku yang terbit?" Ekspresi bangga begitu terlihat di wajah Sabit.

"Tiga, Mbak," Pinka menunjukkan 3 jarinya kehadapan Sabit. Membuat Sabit lagi-lagi menatap takjub.

"Congratulation's!" Sabit turut bangga melihat betapa Suksesnya penulis yang sempat tidak percaya diri itu.

"Terbitnya di mana? Masih di penerbit yang lama?" gelengan kepala dari Pinka membuat kedua alis Sabit menyatu.

"Semenjak, Mbak Sabit keluar dari penerbit itu, aku sempat mutusin untuk gak nerbitin karya-karya aku yang lain. Sampai suatu hari, temen aku rekomendasiin untuk self publishing di satu penerbit yang sama dengan dia. Dan Boom! Pihak penerbitnya baik banget Mbak, jadi walaupun aku self Publishing, tapi aku tetap nyaman."

Pinka menyentuh kedua tangan Sabit. "Tapi aku tetap berterimakasih sama, Mbak Sabit. Kalau bukan karena, Mbak Sabit, mungkin karya-karya aku nggak akan bisa seterkenal sekarang."

Sabit terkekeh. "Nggak lah, Pinka, semua itu adalah hasil usaha kamu selama ini. Aku Cuma salah satu bantuan yang dikirim Tuhan untuk meyakinkan kamu, bahwa kamu hebat dengan tulisan-tulisan yang kamu buat."

LANGIT SABITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang