Ravel tertidur setelah diperiksa oleh dokter. Delon berbicara dengan dokter mengenai kondisinya.
"Bagaimana keadaan Ravel, dok?" tanya Delon. "Jauh dari kata baik. Saya mengenal Ravel sudah lama, ia sangat tidak peduli dengan penyakit maagnya meski saya sudah memperingatkan. Dan sekarang yang saya takutkan terjadi," ujar dokter
"Kenapa, dok?" tanya Delon lagi. "Maagnya sudah kronis, bahkan menjadi kanker lambung stadium dua," jawab dokter dengan nada yang begitu menyedihkan.
Delon tertegun, melihat ke arah Ravel yang terbaring di sana, sahabatnya ....
"Tak hanya itu-" Delon menoleh saat dokter kembali berbicara.
"Sebenarnya Ravel juga menderita kanker hati sejak lama, dan saat ini sudah stadium C atau tahap lanjut. Suatu saat Ravel harus istirahat total dan dirawat intensif."
Jantung Delon terasa seperti ditusuk, sakit sekali. Matanya berkaca-kaca, berusaha agar tidak menangis.
"Ravel bisa sembuh, 'kan, dok? Bukannya bisa kemoterapi?" tanya Delon. "Saya harap begitu, tapi sayangnya kanker itu sudah menyebar, kemungkinan keberhasilan kemoterapi sangat kecil," ucap dokter.
Delon semakin terpukul, ia menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.
"Kamu yang sabar, ya? Hubungi keluarga Ravel jika perlu," kata dokter sambil menepuk pelan bahu Delon, kemudian meninggalkan pemuda itu sendirian.
Delon tersenyum masam. Menghubungi keluarga Ravel? Orang tua Ravel? Mereka selalu sibuk. Menghubungi adik-adik Ravel? Ia yakin Ravel akan melarangnya.
"Delon ...."
Suara Ravel yang lemah mengalihkan atensi Delon, ia menghampiri sang sahabat yang masih berbaring.
"Iya, Vel?"
"Apa kata dokter?"
Delon diam saat Ravel bertanya, ia tak sanggup menjawab. Tapi ia tahu, Ravel akan terus menunggu sampai ia menjawab.
Delon menghela nafas berat dan berkata. "Kanker lambung, Vel."
Jujur, Delon masih belum bisa percaya bahwa sahabatnya mengidap penyakit mematikan seperti kanker.
"Dan kenapa lo nggak pernah jujur, kalo selama ini lo sakit kanker hati juga? Dua organ lo kena kanker, Vel, gue takut ...."
"Ternyata lo udah tau. Gue cuma nggak pengen kalian kuatir, gue nggak mau nyusahin orang-orang karena gue sakit. Gue baik-baik aja kok, Del," jawab Ravel.
"Alasan lo terlalu klasik! Jangan sok kuat, Vel, badan lo itu udah capek ...," ucap Delon dengan suara yang bergetar. Ia terpuruk.
Ravel malah tersenyum. "Lo jangan kayak gini, Del. Gue bakal baik-baik aja kok ...."
Gimana bisa, Vel? Gimana bisa lo setegar ini, sedangkan gue terpukul kayak gini. Gue itu takut kehilangan lo, Vel. Lo udah kayak kayak gue sendiri ..., batin Delon.
"Pulang, yuk, Del. Nanti Darrel sama Jessie nyariin," ajak Ravel. Delon mengangguk, kemudian pergi menemui dokter untuk meminta izin.
***
Di perjalanan pulang, mereka berdua lebih banyak diam. Ravel masih lemas, jadi dia tak banyak bicara. Delon sibuk dengan pikirannya atas permintaan Ravel sebelum meninggalkan rumah sakit.
"Del, tolong jangan kasih tau siapa-siapa tentang keadaan gue, apalagi Darrel sama Jessie. Pokoknya masalah ini cuma lo, gue dan dokter aja yang tau."
Delon terpaksa menyanggupi. Ia sangat mengerti Ravel, jadi ia akan diam sampai Ravel mau jujur sendiri.
"Argh ...." Ravel mengerang pelan, meremas perutnya kuat.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAVEL [END]
Fanfiction[Brothership | Siblings | Family | Friendship | Sad] *Mohon vote, komen, dan share kaka... Thankyou😊* Jika Ravel bisa memutar waktu, ia ingin kembali ke masa kecilnya saja. Masa kecilnya yang begitu bahagia, kebersamaan dengan keluarga dan para sah...