7

75 17 0
                                    

Ravel melihat mobil orang tuanya terparkir di halaman rumah, juga motor Darrel yang terparkir di sebelahnya.

Ia menghela napas, kalau sudah seperti ini berarti sedang ada keributan di dalam.

"KENAPA NILAI KAMU JEBLOK TERUS, DARREL??! BILANG SAMA PAPA, MAU KAMU APA? MAU SEMUA FASILITAS KAMU PAPA CABUT, HAH??!"

"Aku nggak peduli, Pa! Papa juga nggak pernah peduli sama anak-anak Papa!"

Ravel menjadi saksi pertengkaran Darrel dengan ayahnya. Dua wanita yang begitu ia sayangi hanya bisa diam dan menangis di sana.

PLAKK!!

"KAMU ANAK NGGAK BERGUNA! KENAPA TIDAK BISA SEKALI SAJA MEMBANGGAKAN PAPA DAN MAMA SEPERTI KAKAKMU??"

"PAPA, CUKUP!!" Ravel sudah tidak tahan lagi, ini sudah saatnya ia melawan keegoisan Papanya dan melindungi adik-adiknya.

Ravel menarik Darrel ke belakang punggungnya, menjadi perisai untuk adik laki-lakinya.

"Bisa nggak, Papa jangan egois! Papa sadar, nggak? Ucapan Papa sudah menyakiti hati anak-anak Papa?? Bukan hanya Darrel, Pa, Ravel dan Jessica juga sakit hati! Papa membandingkan Darrel dengan Ravel itu menyakiti hati kita berdua! Ravel ya Ravel, Darrel ya Darrel! Jangan semuanya Papa suruh menjadi yang Papa mau, cukup Ravel, Pa! Jangan buat adik-adik Ravel menderita ...."

"Kak Ravel ...." Darrel tidak menyangka, kakaknya berani menentang Papa, bahkan semua uneg-unegnya selama ini disuarakan oleh Ravel.

"Papa kecewa sama kamu, Ravel!"

"YA, TERSERAH PAPA!! KAMI LEBIH KECEWA SAMA PAPA!" ucap Ravel.

"Papa egois! Papa nggak pernah perhatian sama kita, pulang cuma buat marah-marah ...." Giliran Jessica yang buka suara, Ravel juga menarik adik bungsunya itu ke belakang badannya.

Lebih baik melawan orang tua yang egois daripada anak-anak menderita. Mereka siap menerima resiko apapun oleh kemarahan Richard Alexander. Harta tidak lebih berharga dari keluarga yang harmonis.

Ayah tiga anak itu lagi-lagi meninggalkan rumahnya setelah pertengkaran, disusul istrinya yang bahkan sama sekali tidak membantu anak-anaknya.

Ravel berbalik badan, lalu memeluk kedua adiknya. "Ingat pesan Kakak, Kakak sering bilang sama kalian, jangan pernah membenci Papa ataupun Mama karena mereka tetap orang tua kita."

"Kita nggak benci mereka, Kak, kita cuma kecewa," jawab Jessie.

Ravel merenggangkan pelukannya. "Kita sebagai anak cuma bisa mengoreksi kalo mereka salah meskipun cara kita juga salah, setidaknya kita udah berusaha menyadarkan mereka."

"Darrel capek, Kak, dari dulu juga berusaha, tapi Papa nggak sadar-sadar," celetuk Darrel.

"Ya, gimana Papa mau sadar kalo lo justru bikin beliau emosi? Mana dikatain tua bangka lagi, mau jadi anak durhaka, lo?" balas Ravel.

Darrel malah ketawa cengengesan. "Kok lo tau, sih, Kak?"

"Tau, dong! Apa yang Kakak nggak tau?" kata Ravel lalu mencubit hidung Darrel pelan.

Si sulung itu pergi ke dapur, drama antara Darrel dengan Papa membuat perutnya lapar.

"Kak, Jessie belum masak ...," kata Jessica.

"Ya udah, kalau gitu biar Kak Ravel sama Darrel yang masak buat Princess Jessie," kata Ravel.

"Setuju!" sahut Darrel semangat.

Akhirnya dua pangeran itu bekerjasama memasak untuk tuan putrinya, kapan lagi mereka bisa seperti ini.

Jessica benar-benar diperlakukan seperti tuan putri oleh kedua kakaknya, menjadi satu-satunya anak perempuan dari tiga bersaudara membuatnya istimewa.

"Bon appetite, Princess ...," ucap Darrel bak pelayan istana. Sementara Ravel bertugas menghidangkan makanan di depan Jessica.

Setelah peristiwa menyakitkan tadi, mereka punya cara untuk menghibur diri dan melupakannya. Kegiatan sederhana seperti ini sudah membuat mereka tertawa bahagia lagi.

~~~

Ravel mengurung diri di kamar setelah kegiatan makan malam beberapa menit yang lalu. Baru saja ia merasakan kebahagiaan bersama adik-adiknya, penyakitnya malah kembali mengusik.

Erangan tertahan, tak mampu ia keluarkan, tangannya meremat perut yang luar biasa sakitnya.

Lo harus kuat, Ravel! Jangan kalah sama penyakit sialan ini! ucapnya dalam hati.

Ia berjalan tertatih, lalu mencari obat penahan rasa sakit yang diberikan dokter. Seingatnya, obat itu ia simpan di dalam laci.

Keringat dingin bercucuran, nafasnya terengah-engah karena kelelahan. Obat itu tidak menghilangkan rasa sakit sepenuhnya, tapi setidaknya sakitnya mulai berkurang.

Tahan sebentar lagi, lo pasti terbiasa dengan rasa sakit ini.

Terlalu hebat bersandiwara sehingga semua orang -kecuali Delon- tidak tahu perjuangannya melawan penyakit kanker yang menyerang dua organnya.

Mungkin ada saatnya mereka akan tahu, tapi Ravel tidak ingin melihat orang-orang yang disayanginya menangisi keadaannya, atau justru mereka akan marah dan kecewa padanya.

"Sekali lagi, maafin gue ... cukup gue aja yang menderita, jangan kalian."

***

Satu bulan setelah pertengkaran Ravel dan Darrel dengan ayahnya, selama itu juga Richard tidak pernah pulang lagi ke rumah.

Bahkan saat Ravel bertemu dengan sang ayah di kantor, mereka sama sekali tidak berbicara. Lebih tepatnya Richard saja, Ravel sudah berusaha menyapa tapi tak digubris.

"Papa kecewa sama Ravel? Papa marah? Terserah! Ravel capek sama sikap Papa yang seperti ini, anggap aja ini terakhir kalinya Ravel ngomong sama Papa!"

Ravel meninggalkan orang tuanya dengan perasaan penuh kecewa, ia tak menghiraukan panggilan Mamanya yang mencegahnya pergi.

Setelah pekerjaannya selesai, Ravel segera mengemasi barang-barangnya dan kembali ke Indonesia. Ia bersumpah tidak akan kembali menginjakkan kaki di kantor Papanya yang ada di negri kanguru itu.

Selama perjalanan meninggalkan hotel menuju bandara, ia terus mencengkeram kuat perutnya. Rasa sakitnya semakin hari semakin memburuk.

"S-sebentar lagi ... tahan sedikit lagi ...," lirihnya.

Ravel bersusah payah menggapai ponselnya, lalu ia menghubungi seseorang.

~~~

"Del, jemput gue di bandara."

Pemuda yang masih mengantuk itu seketika hilang kantuknya kala mendengar suara sang sahabat yang begitu mengkuatirkan.

Delon beranjak dari tempat tidurnya, lalu segera bersiap dan pergi menjemput sahabatnya. Perasaannya sudah janggal saat mendengar suara Ravel, jadi ia tidak perlu menunggu lama lagi.

"Lo baik-baik aja, 'kan, Vel? Kenapa firasat gue nggak enak? Vel, tunggu gue bentar lagi ...."

Tidak peduli ditilang polisi atau dirinya celaka, Delon melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi agar cepat sampai ke bandara.

Delon dan Ravel sudah bertemu. Ravel menunggu di lounge dan menyambut sahabatnya dengan sebuah senyuman. Namun ada yang berbeda dari senyuman Ravel itu, menurut Delon.

Mereka tak banyak berbicara di perjalanan, bahkan nyaris tak mengobrol sama sekali.

"Jangan ke rumah gue." Begitulah yang dikatakan Ravel sebelum mereka pergi.

"Lo tidur aja, ya, Vel? Kita pulang ke rumah gue," kata Delon sedikit bergetar. Ingin menangis rasanya, melihat kondisi Ravel yang pucat pasi tanpa rona, juga tangannya yang sedingin es saat Delon menyentuhnya.

Kenapa Delon tidak membawanya ke rumah sakit? Karena Ravel pasti akan menolak. Delon tidak ingin berdebat dengan orang sakit.

Jangan sekarang, ya, Vel? Lo belum mau nyerah, 'kan?

Bersambung ....

###

RAVEL [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang