*EPILOG*

119 16 0
                                    

Satu tahun berlalu ...

Tak terasa sudah satu tahun kepergian Ravel. Keluarganya tidak ada yang berubah, kecuali kedua orang tuanya yang lebih sering pulang ke rumah.

Darrel masih membenci ayahnya, ia belum bisa memaafkan kesalahan sang ayah di masa lalu. Rasanya begitu sulit untuk dirinya memaafkan ayahnya.

Teman-teman Ravel menjalani hari-hari seperti biasanya, mereka sudah lebih bahagia setelah mengikhlaskan kepergian Ravel.

Darrel, Delon, Gabriel dan Dea sudah lulus SMA, mereka memutuskan kuliah di universitas yang sama dan mengambil jurusan yang sama pula.

Jessica dan Gabriel belum resmi berpacaran karena belum direstui Darrel dan orang tuanya.

Deandra mulai membuka hati untuk Darrel, meski masih ada Ravel yang singgah di hatinya. Mereka sudah resmi berpacaran satu minggu yang lalu. Sungguh penantian yang panjang bagi Darrel.

Delon juga sudah berpacaran dengan Joanna. Lucunya, Joanna yang menembak Delon seperti ucapannya dahulu.

"Lagian Kak Delon kurang sat-set!" - Joanna.

Yah ... mereka hidup seperti biasa, tanpa ada Ravel di sisi mereka.

***

Hari ini keluarga Ravel pergi berziarah ke makam Ravel, dalam rangka mengenang satu tahun kepergiannya. Juga untuk melepas rindu pada sang anak dan kakak yang mereka sayangi.

"Kak, gue kangen, Kak...," kata Darrel lirih, menatap batu nisan yang bertuliskan nama Ravel di sana.

"Kita berdoa buat Kak Ravel, ya, Kak?" ujar Jessica. Darrel mengangguk.

Setelah mereka memanjatkan doa, kemudian angin tiba-tiba berhembus.

Ketika angin itu lewat di telinga Darrel, sayup-sayup ia mendengar seperti ada kalimat tersusun--

Maafin Papa, Rel ....

Ia menyadari sesuatu, suara samar itu adalah Ravel. Ia merasakan kehadiran Ravel di sana, tubuhnya jadi merinding.

"Pa, hawanya jadi sejuk, ya?" tanya Lily. "Iya, padahal tadi panas sekali," jawab Richard. "Jessie juga ngerasa gitu, Ma, Pa," timpal Jessie.

Sementara Darrel hanya diam, karena ia merasa ada yang memeluknya dari belakang.

Kak Ravel di sini ..., batin Darrel.

Darrel memejamkan matanya, lalu menitikkan air mata yang lama-lama semakin deras.

"Kamu kenapa, Rel?" tanya Richard. Darrel membuka matanya lagi dan mengusap pipinya yang basah sambil menatap ayahnya.

"Kak Darrel kenapa?" tanya Jessica.

"Jess, tadi Kakak ngerasain kayak ada Kak Ravel di sini, Kakak merasa ada yang meluk dari belakang, batin Kakak nggak bisa bohong kalo itu adalah sosok Kak Ravel," kata Darrel lalu menangis lagi.

"Aku juga ngerasa kayak ada Kak Ravel di sini, aura dia itu khas," kata Jessie. Sebenarnya ia ketakutan.

"Mama jadi merinding, kalian yakin Kakak ada di sini?" kata Lily.

Darrel dan Jessica menggaruk kepala tak gatal, mereka sebenarnya tidak percaya dengan hal-hal seperti itu, tapi bisa saja, 'kan, Ravel memang sedang melihat keluarganya berkunjung ke makamnya?

Suasana menjadi hening, tidak ada yang berbicara.

"Pa ...," panggil Darrel canggung. "Ya?" jawab Richard. "Maaf ...," kata Darrel.

"Untuk apa?"

"Semuanya .... Selama ini Darrel suka ngelawan Papa, Darrel suka ngebentak dan ngomong kasar sama Papa ... Darrel seperti itu karena Darrel sayang sama Kak Ravel, Darrel nggak tega liat Kak Ravel terlalu bekerja keras karena tuntutan Papa, dan Darrel membenci Papa setelah Kak Ravel sakit dan meninggal ...."

"Tapi sekarang Darrel sadar, Pa ... kepergian Kak Ravel adalah takdir Tuhan, bukan salah Papa. Darrel semakin membenci Papa pun nggak akan mengembalikan Kak Ravel ke kita, yang ada Darrel bakal menyesal pada akhirnya ...."

Richard memeluk anak keduanya itu dengan erat.

"Papa juga mau minta maaf sama kamu, Jessie, dan terutama Kak Ravel. Papa menyadari kesalahan Papa. Papa terlalu egois dan terlalu mementingkan pekerjaan, Papa kurang memperhatikan kalian. Kak Ravel sakit memang kesalahan Papa sebagai orang tua yang buruk, maafkan Papa, ya?"

Darrel mengangguk. Ia melepas pelukan dengan sang ayah. Ini sudah saatnya membuka lembaran baru dalam kehidupan, memperbaiki diri agar kesalahan yang sama tidak terulang kembali.

Saat Darrel membalikkan badan, ia melihat siluet Ravel dari jauh yang semakin lama memudar dan menghilang.

Makasih, Kak, lo udah membuka hati gue untuk maafin Papa. Semoga lo tenang di sana, ya ....

"Pulang, yuk ...," ajak Lily pada suami dan kedua anaknya.

Mereka menatap makam Ravel sekali lagi sebelum berpisah.

"Kita pulang dulu ya, Kak? Kapan-kapan kita datang lagi," pamit Jessica.

Mereka berempat berbalik, meninggalkan area pemakaman dan kembali pulang ke rumah.

Tidak ada cerita yang selalu berakhir bahagia, namun kebahagiaan akan muncul ketika kita menerima kenyataan yang dituliskan takdir.

SELESAI

###

(Terima kasih sudah membaca cerita ini, jangan lupa vote karena vote itu gratis! Tunggu karya Author selanjutnya, bye-bye ....)

RAVEL [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang