FIVE

81 8 1
                                    

Orang bilang, ikatan batin anak kembar itu kuat. Dan Septian percaya itu, sebab meski terkesan terpaksa karena diminta sang ibu untuk menjemput Septa, pada kenyataannya Septian juga sudah memikirkan bocah itu sejak tadi. Sikap keras kepala yang tak biasa itu menimbulkan curiga.

Ya, curiga karena di sini yang paling keras kepala itu dirinya. Sedangkan Septa cenderung penurut dan tidak banyak tingkah.

“Halo, lo di mana, sih? Gue cari di tempat reparasi, kok, udah tutup. Lo di mana? Mama nyariin tau! Lagian jam sembilan kita harus ikut Misa malem Natal, dan lo kenapa belum balik?!” semburnya tepat ketika panggilan teleponnya tersambung.

Ada jeda yang cukup lama hingga sosok di seberang memberi jawaban. “Mau pulanglah.”

Meski sedikit samar, Septian mendengar suara klakson yang berarti sang adik berada tak jauh dari jalan raya. Dengan langkah terburu, ia menjauh dari area ruko dan berlari kecil menuju motor yang terparkir.

“Posisi di mana? Nggak usah pesen ojol, biar gue yang ke situ,” tanyanya sambil memasangkan helm.

“Di seberang Ind*maret tempat gue beli susu tadi. Niatnya pengen naik bus, tapi kayaknya masih lama.”

Septian mengedarkan pandangan, hingga manik hitamnya menemukan lokasi yang dimaksud, kemudian mengangguk samar dan mengakhiri panggilan secara sepihak. Cowok itu menyalakan mesin motor dan mengendarainya pelan hingga sampai ke depan minimarket yang dimaksud Septa. Dari tempatnya berhenti, ia bisa melihat sosok  yang sedari tadi mengganggu pikirannya berdiri di depan halte.

Meski sedikit temaram, Septian dapat melihat senyum lebar dari sosok itu. Seolah ini adalah kali pertamanya dijemput oleh sang kakak. Padahal pada kenyataannya, hal seperti ini sering terjadi. Di mana Septian harus menjadi sopir pribadi Septa yang masih tidak berani belajar naik motor.

Bunyi notifikasi pesan membuyarkan lamunannya. Ia buru-buru merogoh saku jaket dan membuka aplikasi berkirim pesan di benda pipih itu.

Tunggu, gue yang ke situ.
[20.33]

Septian mengetik balasan.


Buruan, anjir. Keburu telat Misa
[20.31]

Bilang aja kangen, pake alasan. Wkwk
[20.33]


Baru saja jemari Septian terangkat untuk mengetikkan balasan, tetapi suara berdebum di depannya membuat remaja itu membeku seketika. Gawai di genggamannya melayang bebas menghantam paving dan menghasilkan retakan halus pada layarnya. Namun, hal itu sama sekali tak mampu mengalihkan pandangannya.

Tatapannya hanya tertuju pada satu titik, di mana sosok yang baru beberapa saat tadi berbalas pesan dengannya kini telah berbaring di atas aspal. Tak jauh darinya, terdapat sebuah sedan yang berhenti. Beberapa pengguna jalan yang berada di dekat tempat kejadian lantas mendekat. Beberapa mencegah agar si pemilik mobil tidak melarikan diri, dan beberapa sibuk meminta yang lainnya untuk menelepon ambulans. Hanya Septian yang masih setia membeku, dan terpaku pada genangan merah yang tumpah ruah mengelilingi tubuh sang kembaran.

“S–septa ….”

Lidah lelaki itu terasa kelu, dengan pandangan yang mulai mengabur ia menyeruak masuk ke dalam kerumunan dan lagi-lagi tercenung. Sosok yang tertabrak dan terpental di depan mata itu benar-benar adiknya.

🍃🍃🍃

Salam

Vha
(03-02-2023)

If Only Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang