Dulu, Septian selalu mengatakan bahwa dunia tidak pernah adil padanya, karena dunia selalu berpihak pada Septa, saudara kembarnya. Mereka terlahir dari satu rahim yang sama, dan hanya berjarak beberapa menit. Namun, berbeda dengannya, Septa itu sempurna.
Wajah tampan, otak encer, sifat bak malaikat yang selalu membuat bocah itu dipuji di mana pun kaki berpijak. Jika perumpamaan Septa adalah matahari, maka Septian adalah bayangan. Semakin terang sinar yang dihasilkan, semakin pekat pula sang bayangan. Sebuah perumpamaan yang sempurna bukan?
Menjadi pembangkang yang tak pernah mau terjerat dalam kekangan membuat Septian menjadi terbiasa diabaikan. Toh, ia tahu dengan konsekuensinya jika dirinya menolak berjalan di alur yang orang tuanya ciptakan. Dia lebih bahagia dan bebas jika bergerak sesuai kehendak sendiri. Sangat bertolak belakang dengan adiknya yang selalu patuh layaknya boneka.
Segala hal tentang Septa adalah kebanggaan, sedangkan Septian itu kegagalan. Semua orang selalu berpihak pada bocah itu, sampai-sampai mereka lupa jika ada sosok bernama Septian di dalamnya. Dialah yang lebih mengerti Septa lebih dari siapapun. Dan dialah yang akan paling kehilangan jika datang sebuah perpisahan.
“Berisik!” Suaranya menggema ke seluruh ruangan yang tiba-tiba hening kala pemuda itu meninggikan suaranya di depan sang ibu.
“Mau Mama ngomong sampai berbusa sekalipun, Septa juga nggak akan hidup lagi. Kenapa terus-terusan salahin aku? Emang sejak kapan kematian dia jadi salahku? Dia aja yang nggak lihat jalan sebelum nyeberang dan berakhir ketabrak. Kenapa bisa aku yang jadi pelampiasan Mama?” Napas bocah itu menderu. Dengan tangan terkepal erat, mati-matian ia menahan diri untuk tidak mengatakan hal yang akan menyakiti sosok di depannya.
“Jelas kamu juga salah. Padahal bisa aja kamu yang bawa motor dan nyeberang samperin dia, kenapa malah Septa yang nyusul kamu? Padahal kamu sendiri tahu 'kan, adikmu itu kesulitan buat bedain warna merah?!”
Wanita itu nyaris melempar vas bunga yang berada di atas meja tak jauh dari tempatnya berdiri, beruntung seseorang telah lebih dulu mencegahnya.
“Astaga, Ma! Tahan emosi kamu.” Sosok itu tak lain adalah sang ayah yang baru saja muncul karena mendengar keributan dari arah ruang keluarga.
Saat itu juga, tangis sang ibu pecah. Wanita itu menangis sesenggukan di pelukan suaminya. Sedangkan Septian hanya berdiri kaku dengan tatapan sendu.
Mungkin sekitar tiga minggu berlalu sejak kepergian Septa. Sosok berkaca mata itu menghembuskan napas terakhirnya ketika perjalanan menuju rumah sakit. Meninggalkan semua dengan duka yang mendalam tanpa ada kata pamit.
Tentu saja semua terluka, tak terkecuali Septian. Kehilangan sosok yang selama ini selalu bersamanya bahkan sejak berada di kandungan itu bukan hal mudah. Rasa sakit akibat ditinggalkan membuatnya seperti kehilangan separuh daya hidup. Namun, alih-alih mendapat kekuatan dari sosok yang seharusnya menguatkan, dia justru disalahkan. Seolah-olah Septian sengaja membiarkan saudaranya mati di depan mata tanpa berbuat apa-apa.
“Sebenernya aku anak Mama sama Papa bukan, sih? Aku ini kembaran Septa bukan? Kenapa saat dia pergi, kalian bertingkah seolah-olah udah kehilangan satu-satunya anak?” Remaja itu menatap dua orang dewasa di depannya bergantian. Sang ibu sudah cukup tenang untuk bisa mendengarnya.
“Kehilangan? Aku juga, Pa, Ma!” Ia memukul dadanya cukup keras. “Kita kembar, dan tahu gimana perasaanku sewaktu detak jantung dia berhenti?” tanyanya yang sama sekali tak mendapat jawaban.
“Aku mau ikut mati,” tukasnya dan membuat keduanya terbelalak.
“Rasanya duniaku berhenti saat itu juga. Dan aku nggak bisa ngebayangin gimana hidupku ke depannya kalo Septa nggak ada. Karena udah nggak ada lagi orang yang selalu usil nerobos masuk kamarku. Nggak ada lagi orang yang cerewet karena aku nggak makan. Nggak ada lagi orang yang kasih nasehat aku kalo aku berbuat kelewatan. Nggak ada lagi orang bego yang bujuk aku pakai susu kotak kalo kita marahan.” Tumpah, air mata pemuda itu tak lagi bisa dibendung.
“Aku sekarang sendirian, karena satu-satunya orang yang peduli dan lihat keberadaanku sekarang udah nggak ada,” papar Septian dengan suara serak akibat tangis yang enggan berhenti.
“Dan sekarang, Mama masih nyalahin aku karena nggak nolong Septa? Kalo itu takdirnya, aku bisa apa, Ma? Seandainya posisi kita bisa ditukar, aku bersedia gantiin Septa. Jadinya orang nggak berguna inilah yang mati. Biar kalian bisa bahagia tanpa ada benalu kayak aku. Iya, ‘kan?” Bocah itu terbatuk karena sesak yang menghimpit dada. Sungguh menyakitkan untuk mengatakan apa yang selama ini hanya terpendam.
Dengan air mata yang masih deras membasahi kedua pipinya, Septian kembali berujar, “Atau … sebaiknya aku mati sekalian? Meski nggak bisa kembaliin Septa, setidaknya Mama sama Papa nggak akan sedih tiap lihat mukaku.”
Sunyi.
Dua orang dewasa itu kini terdiam layaknya patung usai mendengar curahan hati putranya. Sementara Septian masih berada di posisi semula, terisak dan menumpahkan semua kesedihan yang selama ini ia pendam. Hingga beberapa menit kemudian, hanya suara denting jam dinding dan tangisan Septian yang menggema di ruangan itu. Bahkan sampai bocah itu akhirnya tenang, tak ada yang saling berbicara. Dan Septian memilih untuk pergi lebih dulu, meninggalkan mereka yang masih terpaku di tempat dengan kecamuk isi pikiran yang mulai membuatnya tak tenang.
🍃🍃🍃
Cerita ini pendek, jadi sayang aja kalo nggak dilanjutkan wkwk.
Enjoy yaa. Jangan lupa tinggalkan jejaknya wahai manusia yang berakal dan berbudi pekerti 😗♥️
Salam
Vha
(21-10-2023)
KAMU SEDANG MEMBACA
If Only
Teen FictionDetik itu, ketika remang-remang lampu jalan menjadi satu-satunya penerangan, Septian akhirnya mengerti jika perpisahan kali ini bersifat abadi. Saat sang bentala menelan raga kakunya, maka pertemuan benar-benar menjadi sesuatu yang semu. Tangis, ri...