“Lo goblok apa idiot, sih?! Gue ‘kan udah bilang, ini salah dia yang nggak punya mata. Udah tahu ada orang segede ini, masih aja ditabrak.” Ia menatap jengkel pada sosok yang justru duduk santai sembari menyedot susu kotak yang ia beli dari minimarket tak jauh dari tempat mereka berada.“Kenapa juga lo malah yang ganti rugi? Dia aja yang lebay, padahal cuma handphone murahan kayak gitu. Rusak tinggal beli lagi, kenapa repot-repot bawa ke tukang reparasi?” lanjutnya menggebu-gebu.
Hal ini bermula dengan Septian yang bertabrakan dengan seorang gadis saat mereka tengah berkeliling pusat perbelanjaan. Keduanya sama-sama bersalah akibat tak memperhatikan jalan. Namun, ponsel yang digenggam gadis itulah yang menjadi korban. Benda pipih itu terlempar hingga masuk ke dalam kolam ikan hias dan mati seketika.
“Mau gimana pun, hape dia rusak gara-gara kita, Tian. Jadi kita harus tanggung jawab,” balas Septa yang tak terpengaruh oleh emosi Septian. Ia masih tetap dengan pembawaan tenangnya.
“Ya, udah beliin aja yang baru. Harganya juga pasti lebih murah daripada biaya perbaikannya. Lo nggak lihat, tipe handphone-nya udah jadul banget. Keluaran tiga tahun lalu kali, tuh.”
Meski masih kesal karena Septa menyeretnya hingga ke tempat perbaikan ponsel, tetapi emosinya mulai mereda ketika Septa tak membalas kemarahannya dengan kepala dingin. Septian benci mengakui ini, tetapi ia berharap Septa lahir lebih dulu daripada dirinya. Sikap dewasa yang dia miliki selalu muncul di waktu tepat. Tak seperti dirinya yang selalu terbawa emosi dan sangat labil.
Septa membuang kotak susunya yang telah tandas ke dalam tong sampah terdekat. Kemudian berujar, “Kalau soal begitu gue juga tahu. Tapi lo pernah kepikiran, nggak? Kalau hal-hal yang kelihatan sepele buat lo, nyatanya itu adalah sesuatu yang berharga buat orang lain.”
“Contoh kecilnya, ya, handphone ini. Buat lo, dan bahkan gue, barang ini murahan banget. Tapi buat adek itu, benda ini berharga banget. Gue tadi denger, dia beli handphone ini dari hasil nabung dan uang kerja ayahnya. Dia yang mungkin untuk kebutuhan sehari-hari aja susah, terpaksa harus beli handphone ini demi mengikuti bisa pelajaran di sekolah yang sekarang dikit-dikit pakai gadget.” Ia menjeda kalimatnya, menunggu sang kakak selesai memproses kalimat panjang yang baru saja ia lontarkan.
“Dan alasan gue ngotot untuk tetep perbaiki handphone ini daripada beliin yang baru, itu karena dia sendiri yang minta. Katanya banyak kenangan di dalam benda yang lo bilang murahan ini,” lanjutnya.
Bungkam.
Lagi-lagi Septian dibuat tak berkutik dengan ucapan sosok pemilik wajah yang sama dengannya ini. Bagaimana Tuhan bisa menciptakan sosok dengan paket komplit seperti Septa? Sedang Septian hanya kebagian wajah yang rupawan. Huh, tidak adil!
🍃🍃🍃
👦: "Septa aslinya bego, cuma ketutup sama otak encernya aja."
🧒: "Tian aslinya sayang gue, tapi love language-nya bahasa kebun binatang."
Salam
Vha
(16-01-2023)
KAMU SEDANG MEMBACA
If Only
Teen FictionDetik itu, ketika remang-remang lampu jalan menjadi satu-satunya penerangan, Septian akhirnya mengerti jika perpisahan kali ini bersifat abadi. Saat sang bentala menelan raga kakunya, maka pertemuan benar-benar menjadi sesuatu yang semu. Tangis, ri...