Gemerlap kota malam itu seolah tak menghiraukan suasana haru yang memantik beberapa orang yang termangu melihat pria tergeletak lemah di lantai kedai kopi ternama.
"Minggir!" teriak seorang pramusaji kedai tersebut yang berlari untuk membelah lautan pengunjung yang berkerumun melihat pria yang terduga sudah tak bernyawa itu.
Pria pramusaji itu dengan sigap memeriksa denyut nadi pada pergelangan tangan si korban. Beberapa detik kemudian pria tersebut melebarkan mata disusul merapal kalimat istirja'.
Sirine ambulance yang memekakkan telinga datang dan mengevakuasi korban di kedai tersebut.
Seolah-olah tak mengetahui apa pun, Tania dengan santainya menenggak minuman ringan yang dibelinya beberapa saat lalu di minimarket tempatnya kini melepas lelah. Ia menyilangkan kakinya dan mendengus lega tatkala matanya mengekori laju mobil darurat yang lewat di depannya.
Setengah jam kemudian.
Ponsel wanita berumur dua puluh lima tahun itu bergetar. Sebuah panggilan masuk dari sahabatnya, Kimi.
["Tania! Kamu di mana sekarang? Verdi meninggal, Tan. Kamu tahu nggak?"]
Ya, wanita itu bernama Tania. Ia mengerjap malas untuk menimpali pertanyaan sahabatnya itu.
"Oh, masa? Jam berapa Verdi mati, Kimi?" Tania mencoba meleburkan diri atas situasi yang sebenarnya sudah terduga olehnya.
["Barusan! Ayo, kita segera ke rumah sakit. Aku kasih alamatnya nanti di chat."]
Tania melajukan mobil sedannya pelan. Bayangannya masih tertaut pada peristiwa yang baru saja terjadi. Bagaimana pun juga, kematian Verdi bukanlah murni kesalahannya sendiri.
"Sudahlah, Verdi. Aku nggak mau ikut. Lagian, kenapa aku harus ke luar negeri?"
Tania sangat resah, ia telah memasang wajah memelas yang tak sedikitpun menggoyahkan hati Verdi untuk mengurungkan niatnya melakukan hal yang jelas-jelas melanggar hukum.
"Ayolah, Tania. Kamu cantik, seksi. Sudah pas dengan order yang diminta. Cuannya besar, masa kamu nggak tergiur, sih?" desak Verdi sembari menyulut api ke batang tembakau yang diapit jemarinya itu.
Tania masih menggelengkan kepalanya untuk yang kesekian kalinya pada teman semasa SMA yang kini berada di hadapannya itu.
Memang, Tania tak tahu harus kemana lagi meminta tolong untuk bekerja demi menyambung hidupnya, juga melunasi utang-utang mantan suaminya dulu.
Pun harus berapa gelengan agar pria di hadapannya itu sadar, bahwa dirinya takkan mudah tergiur iming-iming bekerja di luar negeri sebagai model atau sejenisnya. Inginnya, bekerja di dalam negeri juga bisa, tapi Verdi bersikeras dengan pendiriannya.
"Tunggu, di sini. Aku hubungi temanku dulu." Verdi bangkit menjauh dan mulai memainkan ponselnya.
Kantong berbahan kertas berukuran kecil, bertuliskan 'bubuk ekspresso' itu ditaburkan Tania pada minuman berjenis kopi milik Verdi.
Tania mengaduknya perlahan, tanpa sedikitpun gemetar pada tangannya. Rupanya ia telah menerapkan ilmu ketenangan diri yang dipelajarinya beberapa saat lalu.
Verdi kembali pada kursinya, Tania bangkit hendak berpamitan. Ia mengatakan suatu alasan yang dirasa pasti, hingga akhirnya Verdi pun menyanggupi si gadis cantik itu pergi.
Tanpa disadari, Verdi yang berniat tak meneguk kembali minumannya karena kembung telah melingkupi perutnya. Saat akan beranjak pergi, suatu keinginan muncul untuk menyeruput kopi di atas mejanya itu sekali lagi.
Deringan ponsel masuk. Verdi menimpali panggilan itu, sembari mencecap rasa kopi yang tertinggal di lidahnya.
Beberapa saat berselang, Verdi merasakan lemas dan lumpuh pada saraf-saraf di sekujur tubuhnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Teror Susuk Kadarsih
Mystery / ThrillerTania terpaksa memasang susuk, untuk menyambung hidupnya. Tapi, di suatu sisi hantu Kadarsih terus saja menerornya. Entah mau apa makhluk tersebut. Apakah susuk yang dipakainya berhubungan dengan Kadarsih? Lalu, akankah Tania bertahan dengan susuk y...