Lima

7 1 0
                                    

Di sana, seorang wanita tua renta berambut kusut yang seluruh helainya beruban, serta penampilan sangat lusuh. Hampir sudah dipastikan nenek itu jarang membersihkan badannya.

Ia sedang duduk bersila di atas amben rotan yang peyot termakan usia, terlihat sama tuanya dengan dirinya. Mata si nenek terpejam sambil sesekali menggerakkan leher ke arah suara langkah kaki yang memasuki huniannya.

Tania dan Kimi masuk perlahan, mereka masih was-was, karena agaknya suasana mencekam tak kunjung pergi.

Pandangan mereka menyisir seluruh ruangan. Tak usah ditanya bagaimana rupanya, berantakan dan jauh dari kata layak. Udara pengab di ruangan itu sangat bertolak belakang dengan hawa di luar yang masih segar dan dingin.

Benar saja, di sana berdiri miring rotan penyangga yang berjumlah kurang dari lima buah, menyangga genteng yang hampir ambruk.

Anyaman bambu yang menjadi dinding-dinding rumah si nenek sangatlah ketat. Hingga tak ada satupun celah di sana. Hanya ventilasi cerobong asap di pojok ruang yang menyatu dengan tungku sebagai dapur di griya itu.

Keduanya berpikir, bagaimana bisa nenek renta ini hidup sebatang kara di rumah yang jauh dari kata layak.

"Duduklah, anak muda."

Kedua perempuan yang masih diliputi rasa gusar, mematuhi perintah si nenek.

Hingga akhirnya seorang renta itu bangkit bersama tongkat penyangga yang di ujungnya terukir kepala mirip hantu genderuwo. Tongkat itu menjadi satu-satunya alat yang membantunya berdiri dan berjalan.

Tremor yang dialami si nenek membuat langkahnya sedikit gontai. Ia menuju suatu altar kecil dengan meja yang sudah siap beserta perlengkapan kegiatan yang akan dilakoninya.

"Mbah Wengi, temanku mau berkonsultasi masalah—"

Telapak wanita tua yang dipanggil Mbah Wengi itu terangkat, sebagai tanda ia telah mengetahui muasal mengapa kedua wanita cantik itu mendatangi kediamannya.

"Mari sini, Cah ayu, kamu tak usah ragu. Mbah sudah bisa membaca pikiranmu. Nasib yang kau ubah akan menuntunmu menuju kejayaan. Tentunya bila mau melakoni persyaratan," ucap Mbah Wengi.

Tania terhenyak, sembari menelan ludah usai mendengar perkataan Mbah Wengi yang dirasa menggetarkan batinnya.

Sekelebat bayangan dirinya bergelimang harta hadir di pelupuknya, membuat sebuah bulatan tekad muncul dari dalam dadanya. Tania berseri sekali lagi bila membayangkan hal itu.

Mbah Wengi terkekeh setelah ekor matanya melirik Tania yang sedang tersenyum kecil mengkhayalkan angan-angannya untuk mempunyai kekayaan.

"Apa yang ada dalam pikiranmu akan menjadi kenyataan, Nak."

Tania tergemap begitu Mbak Wengi membaca apa yang ada di otaknya, kali ini ia begitu tak sabar untuk menanyakan hal yang ingin diketahui dirinya.

"Maaf, Mbah. Apa persyaratan yang harus dilakukan?"

Sudah jelas Tania berani karena tekadnya. Mbah Wengi sontak terkagum dengan wanita cantik berambut hitam panjang itu.

Rupa-rupanya menurut penerawangan Mbah Wengi, Tania sangat cocok dan amat berpotensi bila dipasang susuk spesial yang tak pernah sekalipun ditawarkan oleh orang lain.

"Yang utama. Jangan sekali-kali kamu mengorbankan dirimu kepada yang suci."

Mbah Wengi menegaskan, namun kerutan kening Tania memperlihatkan bila ketidak pahaman masih melingkupi pikirannya.

Sebuah benda berukuran kecil dikeluarkannya dalam kotak kayu jati yang berada di dalam peti besar milik Mbah Wengi.

"Berlian merah?" lirih Tania membelalak, seraya menyenggol Kimi. Sontak keduanya berpegangan jemari, tak percaya bahwa Mbah Wengi memiliki benda yang sangat berharga di gubuk reyot tengah hutan seperti itu.

Batu berlian berwarna merah menyala berpendar kliaunya. Sesaat pantulannya menyambar hingga menyilap mata.

"Aku akan tanam benda ini di tubuhmu. Maka sejak tertanam susuk ini, siapa pun akan takluk padamu. Tapi, ingat! Pantangan utama ini sulit. Sebab, susuk ini akan kehilangan fungsinya bila kau mengikat janji suci atau ikatan pernikahan dengan seorang pria. Paham, Nak?"

Teror Susuk KadarsihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang