VII : Nightmare

343 33 5
                                    

"Aku tak mau minum obat sembarangan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Aku tak mau minum obat sembarangan."

"Ini obat yang biasa saya minum, Tuan. Anda akan baik-baik saja."

Niji menatap ragu sebuah pil di tangan Cosette yang masih disodorkan padanya.

"Anda bilang ingin diobati dengan cara saya, jadi ini yang bisa saya lakukan."

Pria itu berdecih pelan menatap Cosette yang berdiri di depan ranjangnya, namun tetap mengambil obat dan gelas berisi air itu.

"Kalau terjadi sesuatu padaku, kau yang salah."

Cosette mengangguk mengiyakan. Sebenarnya ia lebih risau jika obat itu tak berpengaruh apapun pada Niji. Tapi setidaknya ia sudah mencoba.

"Anda bisa tidur sekarang, Tuan Niji."

Niji mengangguk singkat untuk menjawab. Ia merebahkan dirinya pada ranjang, matanya menatap ke sudut kamar di mana ranjang kecil tempat Cosette tidur berada.

Dadanya terasa berdesir. Rasanya aneh membiarkan orang lain tidur di kamarnya yang bahkan ketiga saudaranya tidak pernah menginap di sana.

.

.

.

Niji mengintip ke dalam kamar berisi seorang anak kecil berambut pirang, juga wanita cantik yang mempunyai rambut seiras dengan si kecil.

"Wah, Sanji memasak ini untuk ibu?"

"Eum! Kuharap ibu suka."

"Terima kasih Sanji, kau putra termanisku!"

Wanita yang tengah duduk di ranjang ruang rawat itu memeluk si kecil gemas. Senyum cerahnya bagai bunga yang mekar di musim semi. Cantik sekali.

Ketika Sanji keluar dari ruangan, Niji membuka pintu dan melangkah masuk. Wangi vanilla samar-samar menyapa penciuman Niji. Entah itu dari makanan yang dibawakan Sanji, atau memang wangi ibunya yang seperti vanilla.

Sang Ibu tertegun ketika melihatnya masuk. Tak seperti saat ia menatap Sanji, tak ada kehangatan di wajahnya. Yang ada hanya wajah tertegun dan tatapan kebingungan yang Niji lihat.

Kemudian wanita cantik itu mencoba tersenyum menatap Niji yang masih berdiri di depan pintu.

"Apa ada yang bisa kubantu?"

Niji hanya menggeleng cepat, dan keluar ruangan dengan terburu-buru, tanpa satupun kata keluar dari mulutnya.

Beberapa hari kemudian, Niji berdiri di depan sebuah makam. Ibunya pergi bahkan saat mereka belum pernah mengobrol, ataupun memanggil namanya.

Maniknya menatap Sanji yang menangis terisak di depan nisan. Anak berambut pirang itu terlihat begitu terpukul dan putus asa. Niji dan kedua saudaranya hanya tersenyum remeh melihat itu.

Mereka bergerak maju untuk menendang tubuh Sanji yang bagi mereka merupakan sebuah aib, seorang anak yang lemah dan emosional.

Namun senyum remeh Niji memudar saat melihat Sanji yang menatap ke arahnya. Dengan tubuh yang masih ditendangi itu, Sanji menatapnya dengan tatapan yang bagi Niji seperti— tatapan meminta tolong.

Germa Prince (Niji × Cosette) ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang