Ravenna: 4

2K 253 11
                                    

Setelah baca bab 4 pov Ravenna, ayo, ke KaryaKarsa. Ada tambahan bab atau secret part setiap bagiannya.

Untuk yang mau baca Wattpad aja. Boleh. Vote dan komentar-komentar, ya. Biar update-nya semangat.

Happy reading!

❤❤❤

"Kalian ngobrol aja dulu."

Usulan Ramli membuat Enrico melepaskan tangannya.

Diana seolah mampu membaca keadaan. "Tinggal dulu, ya, Ven. Have fun."

Bukannya aku tak sopan, hanya saja, aku bingung memulai percakapan dengan orang asing—maksudku, baru aku kenal. Dulu awal aku mengobrol dengan Devan juga ditemani Nara. Tunggu, mengapa harus teringat mereka?

"Kamu mau minum sesuatu?" tawar Enrico.

Syukurlah dia ngomong dulu. Ya, aku haus! "Boleh."

Dia tersenyum mendengar jawabanku. Ada yang salah? Haruskah aku menolak dan mengatakan, 'jangan repot-repot'? Tapi aku, 'kan, tidak sedang bertamu.

"Ayo," ajaknya.

Aku mengikuti Enrico ke sisi lain rumah. Di ruangan ini juga masih terdapat tamu. Beberapa pramusaji mondar-mandir membawa baki berisi gelas-gelas penuh. Sementara Enrico memberiku gelas berisi cairan merah bening. Jangan-jangan marniti! Aku lupa namanya.

"Ini apa, Om? Aku nggak minum yang ada alkoholnya."

Enrico menunjuk meja di mana banyak gelas disusun seperti menara dan berkata, "Oh, ini cuma sari buah biasa, Ravenna. Ada minuman yang agak strong di sana."

Aku memandang seorang pramusaji menuang minuman dari gelas paling tinggi. Cairan dalam gelas meleber ke beberapa gelas di bawahnya. Jika seseorang mengambil gelas paling bawah, menara itu akan jatuh berantakan. Tentu aku tak akan membuat kekacauan itu. Tiba-tiba saja pemikiran itu terlintas di benakku.

Setelah mengangguk pada penjelasan Enrico, aku menerima dan mengamati minuman dalam gelas. Mungkin aku harus coba. Jika minuman ini dicampur alkohol dan aku mabuk hingga merobohkan menara gelas, itu salah Enrico.

Selain dingin beraroma harum, minuman ini terasa sedikit asam. Mungkin benar ini sari buah.

"Suka?"

Aku lebih suka lemon iced tea. Akan tetapi, aku mengangguk untuk menghormati pilihannya. "Ya, rasanya asam. Nggak ada rasa sodanya."

"Gimana kamu bisa kenal Ramli?"

Ramli? Sangat mustahil aku mengenal bapak-bapak itu. Jika saja Diana mengatakan di awal siapa pacarnya, aku tak akan mau ikut ke pesta ini. Ya, walau tak rugi juga karena aku bisa berkenalan dengan om-om tampan seperti Enrico.

"Oh, aku baru kenal sekarang. Aku sekampus sama Diana."

Tunggu, apa Enrico mengenal Diana? Aku menambahkan, "Cewek yang tadi sama Om Ramli."

Ya, om panggilan yang tepat untuk bapak-bapak seperti Ramli. Gara-gara Diana, aku ikut-ikutan memanggil pria itu 'mas'. Kepada Enrico, aku justru memanggil 'om'. Semoga saja dia tak tersinggung. Lagipula, aku harus memanggilnya apa jika bukan om? Abang?

Enrico mengangguk dan kembali bertanya, "Jadi, kamu masih kuliah? Di mana?"

Tadinya aku menyangka akan sulit untuk berkomunikasi dengan pria yang lebih tua. Akan tetapi, ternyata tak seburuk itu. Pertanyaan Enrico tak terdengar mengintrogasi, tetapi juga bukan basa-basi. Pria ini pendengar yang baik nampaknya. Ketika aku melontarkan pertanyaan yang sama, Enrico tak segan-segan menjabarkan pendidikannya.

RAVENNA - The Gold Digger || bad girl seriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang