Chapter 1 : Arti Keluarga

16 1 0
                                    

♡ Happy Reading ♡

Keluarga adalah rumah terbaik untuk pulang. Tempat penyajikan ketenangan, kenyamanan, dan kasih sayang. Pelipur lara saat lelah menghampiri selepas seharian melakukan aktifitas di luar.

Harmonis. Istilah itulah yang selalu diharapkan setiap keluarga. Bukan tanpa adanya pertengakaran, tapi bagaimana cara manusia di dalamnya untuk menyelesaikannya juga termasuk dalam kategori. Apalagi, jika penghuni rumah saling menyayangi. Rasanya kebahagiaan selalu menyelimuti keluarga tersebut.

"Yah. Nanti anterin aku ke sekolah, 'kan?"

"Tentu saja, Sayang. 'Kan, biasanya juga gitu." Pria bermata sipit tersebut membelai rambut sang anak.

"Oke. Aku seneng, deh, punya Ayah dan Ibu yang sayang sama aku. Selalu anterin ke sekolah, nemenin belajar, main, dan juga sering ajak jalan-jalan. Makasih, ya, Yah," ujar si kecil senang. Ia merasa bahagia dengan keluarganya.

Si ibu yang sibuk memasak tersenyum mendengar obrolan ringan antara suami dan putra semata wayangnya. Ruang makan dan dapur letaknya cukup dekat, jadi ia bisa mendengar obrolan mereka.

Wanita tiga puluh tahun tersebut membawa masakannya ke meja makan. Nasi goreng kimchi dengan cumi-cumi hitam menjadi favorit ayah dan anak yang memiliki wajah sangat mirip itu. Sehingga saat makanan disajikan, keduanya bersorak girang.

"Yei! Nasi goreng kesukaan aku sama Ayah. Makasih, Ibu. Zeha sayang Ibu," kata si kecil dengan senyuman manis tersebut.

"Sama-sama, Sayangnya Ibu. Makan yang banyak, ya, Nak."

Sang suami tersenyum senang. Ia bersyukur memiliki keluarga seperti itu. Banyak di luaran sana yang keluarganya tidak harmonis. Sering bertengkar dan sibuk dengan dunianya sendiri.

Saat makan, keluarga ini selalu menerapkan disiplin dan sopan santun. Tidak boleh ada yang bicara. Makanan harus habis di piring, jadi mereka dapat mengira-kira seberapa porsi yang dibutuhkan.

Setelah hampir setengah jam, mereka telah selesai sarapan. Ill Woo sudah siap berangkat ke kantor. Begitupun Zeha yang harus ke sekolah.

Setiap hari, Zeha selalu diantar sang ayah dan ditunggui ibunya. Sebab si kecil belum masuk sekolah dasar. Ia masih di taman kanak-kanak.

"Udah siap?"

"Udah."

"Oke. Lets, go!"

Ill Woo menggendong putra kesayangannya. Sedangkan Nahee—–istri Ill Woo——menenteng tas kerja dan sekolah milik suami juga anaknnya. Ia dengan senang hati melakukan itu. Ia menganggap sebagai bentuk cintanya pada mereka.

Ketiganya menuju teras. Di depan, sudah terparkir kendaraan yang akan mereka naiki. Keluarga itu biasa mengendarai mobil sedan berwarna hitam. Kim Nahee  duduk di belakang bersama sang putra. Tidak mungkin ia duduk di depan dan meninggalkan putranya di belakang sendirian. Suaminya juga tidak pernah protes. Demi keamanan Zeha, ia sangat memahami keadaan istrinya.

Sepanjang perjalanan, Zeha tidak pernah diam. Ada saja hal yang dilakukannya. Mulai dari bernyanyi sampai menjahili Ibunya.

Setelah beberapa saat, mereka sampai di sekolah Zeha. "Nah, udah nyampe. Turun, yuk," ajak Ill Woo.

Ia membukakkan pintu untuk istri dan anaknya. Bahkan salah satu tangannya dijadikan pelindung bagi kepala istrinya agar tidak terbentur. Romantis, bukan?

"Makasih, Sayang."

"Anything for you, my wife."

Nahee terkekeh mendengar jawaban suaminya. Ia dan putranya berpamit. Sudah menjadi ritual bagi Ill Woo untuk mencium kening istri maupun anaknya. Menurutnya itu adalah bentuk dari kasih sayang.

PILIHAN (Kumpulan Cerita Pendek)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang