Chapter 5 : Sebuah Pelukan

1 0 0
                                    

♡ Happy Reading ♡

Diam dan air mata seorang wanita adalah bukti nyata sebuah rasa sakit yang sering terabaikan. Tidak mudah untuk memahami makhluk indah ciptaan Tuhan tersebut. Di balik senyumnya, ketangguhan, dan kesabaran yang ia miliki, ada begitu banyak rahasia.

Wanita adalah pelakon paling hebat, jika berhubungan dengan perasaan. Pandai menyembunyikan apa yang sedang ia rasa. Ia masih bisa tersenyum, saat hatinya sendiri tengah menjerit menahan sesak. Kemudian,  mengatakan baik-baik saja untuk membentengi diri dari kecurigaan sekelilingnya.

"Pak, nanti berhenti di toko kue di depan saya, ya," ujar Nahee memberitahu.

"Baik, Bu."

Pak Sopir mengikuti permintaan Nahee. Menghentikan mobilnya di depan sebuah toko yang menjual aneka macam kue.

"Tolong tunggu sebentar. Nanti saya balik lagi."

Nahee mengajak Zeha turun. Memasuki toko tersebut yang riuh akan banyaknya pengunjung.

"Bu, kita mau beli kue?" tanya si kecil.

Nahee tersenyum. "Iya, Sayang. Nanti kita kasih ke teman baru Zeha. Kamu pasti seneng."

Manik bening itu berbinar. Ia sangat senang bila mendapatkan teman baru. Zeha memang mudah bergaul dan mengakrabkan diri dengan orang baru. Sama seperti dirinya, Zeha juga selalu bisa membuat siapa pun di dekatnya merasa nyaman.

Setelah memilih dan membayar cup cake tadi, Nahee kembali ke taksi bersama Zeha. Daritadi Zeha terus memandangi tas cokelat yang dibawanya. Nahee memerhatikan tingkah menggemaskan putra sulungnya itu.

"Kenapa, sih, ganteng? Kok Ibu perhatiin kamu senyum-senyum mulu?" tanya Nahee saat sudah berada di dalam mobil.

"Habisnya, ini lucu. Warna-warna, terus ada bentuk bonekannya juga. Zeha jadi gemes, Bu."

Nahee terkekeh. Ia mengusap surai Zeha lembut. "Maaf, ya, Pak, sudah menunggu lama."

Pak Sopir menggangguk dengan sopan sambil tersenyum. "Tidak apa-apa, Bu. Jadi, kita mau ke mana?"

"Busan, Pak."

Sopir yang berusia kisaran empat puluh lima tahun tersebut menjalankan kendaraannya. Mengantar Nahee dan Zeha ke tempat yang wanita itu sebutkan tadi.

Perjalanan cukup melelahkan. Zeha terlelap sambil menyandarkan kepalanya di bahu Nahee. Wanita ini merasa sangat bersalah. Membuat putra kecilnya harus kelelahan seperti ini. Butuh empat jam untuk sampai ke tujuan.

"Maafin Ibu, ya, Nak. Kamu harus jadi korban dari keegoisan orang tua." Nahee membatin.

Air mata Nahee luruh begitu saja. Jatuh mengenai pipi Zeha yang sudah ia pindahkan ke pangkuannya.

Sungguh, Nahee sebenernya tidak ingin seperti ini. Ia juga bingung mencari solusi yang tepat tanpa ada yang terluka atau dirugikan. Bagaimanapun juga, Nahee harus memikirkan masa depan putranya, jika memang hubungan dengan Ill Woo tidak bisa terselamatkan lagi.

Ia hanya butuh tempat untuk berbagi. Mencurahkan isi hatinya kepada seseorang yang mau dengan senang hati menjadi pendengar. Selama ini, Nahee sangat jarang bercerita tentang perasaannya pada Ill Woo. Apa yang ia inginkan atau bagaimana keadaannya?

Ada alasan mengapa Nahee terkesan tertutup. Suaminya itu hanya mau didengar tanpa mendengar. Lucu bukan? Lantas, bagaimana selama ini Nahee sanggup bertahan dan terlihat sangat bahagia? Oh, tentu ada rahasianya yang belum atau bahkan tidak diketahui siapa pun.

"Bu, sudah sampai." Pak Supir menegur Nahee.

Sedari tadi ia hanya melamun. Sesekali penyeka air matanya yang tak mau berhenti jatuh.

PILIHAN (Kumpulan Cerita Pendek)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang