Senja masih terdiam memandang soto ayam dan ponselnya bergantian. Beberapa saat lalu perutnya yang sangat lapar itu sanggup memakan tiga mangkok bila ia tak mengingat harus berhemat. Tapi semua angan-angannya sirna saat menerima notif dari ponselnya. Ia terdiam dan belum menyentuh makanan favorit nya itu.
"Kenapa, Nja? Ada WA dari siapa? Aaahhh... dari abah gula lo yaa..." canda Lintang.
Senja tak bergeming. Ia masih terpaku melihat ponselmya. Runa yang menghisap jus jeruknya sontak teringat.
"Sms nenek minta kuota ya?" Ucap Runa. Hanya Lintang saja yang tertawa terpingkal-pingkal. Tapi Senja masih diam.
"Kalo lo diem, berarti dua-duanya bukan." Lintang mengambil sesendok sambal dan memasukkannya ke dalam baksonya, mengaduk hingga tercampur.
"Ada uang masuk sebesar 10 juta." Ucap Senja yang mengangkat wajahnya dari ponsel. Runa dan Lintang terdiam, mereka saling pandang.
"Luar biasa abah gula lo... baru semalem ketemu dah transfer aja 10 juta. Tapi dari mana dia tahu nomor rekening lo ya?" Tanya Runa.
"Ya kali, Run. Dia yang punya ini Atmaja, Senja juga mahasiswi berpreatasi. Jelas dia gampang dapet rekening Senja." Jelas Lintang
Senja berfikir sejenak. Ia tahu bahwa ia sepemikiran dengan Lintang. Mudah bagi Genta sebagai pewaris Atmaja hanya untuk mencari tahu rekening salah satu mahasiswinya. Terlebih dekan di fakultasnya adalah om dari Genta.
"Terus kalo dia yang punya Atmaja kenapa? Apa dia berhak tiba-tiba kirim uang ke rekening gue? Dia pikir gue cewek apaan coba?" Senja mulai tersulut emosi.
"Sabar kali, Nja. Dia mungkin lagi latihan buat nafkahin lo." Ucap Runa lagi.
"Latihan? Nggak sekalian aja latihan ijab qabul!" Jawab Senja sengit.
"Sama sekalian latihan malam pertama gimana, Nja..." bisik Lintang.
Senja yang mendengarnya sontak melotot. Beda halnya dengan Runa yang sudah cekikikan.
"Ehh... ehh... tahu nggak? Kepikiran gak sih ntar malem pertama dia bakal gimana? Dia kan tunanetra... bakal salah masuk nggak ya..." kikik Runa. Lintang segera membekap mulut sahabatnya itu ketika melihat wajah Senja semakin merah.
"Anjir, Run! Merinding gue! Dasar piktor! Kebiasaan ya lidah lo..." Sela Lintang yang membuka bekapannya.
"Iisshh... ya wajar kali gue mikir gitu..." Runa berkilah sambil menjulurkan lidahnya pada Lintang.
"Gue mau balikin duit ini. Dia pikir gue perempuan matre apa..." Senja segera berdiri tanpa memerdulikan soto yang ia pesan.
"Makan dulu. Mubazir lho... jangan sementang mau jadi nyonya Atmaja langsung buang-buamg makanan." Ujar Lintang.
Senja kembali duduk dan mengaduk sotonya. Ia sudah membulatkan tekad untuk mendatangi rektorat dan mencari keberadaan Genta disana. Nyatanya keinginannya pupus. Ia dan kedua sahabatnya sudah dihubungi ketua jurusan untuk turut hadir dalam seminar terbuka di aula gedung D untuk menggantikan kuliah siang itu.
Aula gedung D yang berbentuk setengah lingkaran dengan bangku semakin meninggi di bagian belakang. Bisa menampung hingga lima jurusan di fakultas tersebut. Ilmu Pemerintahan, Ilmu Komunikasi, Sosiologi, Administrasi Bisnis dan Administrasi negara.
Ketiganya sudah duduk di barisan ketiga dari atas. Yang menurut Runa cukup tidak terlihat ketika kantuknya tiba atau menurut Lintang adalah posisi nyaman memandang para mahasiswa.
"Kak Radit, Nja!" Bisik Lintang yang menangkap sosok seorang mahasiswa semeter 8 jurusan Ilmu Pemerintahan.
Mata Senja mengikuti bisikan Lintang. Ia dapat melihat sosok kakak tingkatnya yang lama tak ia lihat di kampus. Setahunya kakak tingkatnya tersebut tengah KKN di luar kota. Menyadari kehadiran sosok menawan itu, Senja yakin bahwa KKNnya telah selesai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja untuk Genta
General FictionSenja Maharani. Mahasiwi jurusan Ilmu Komunikasi, berusia 20 tahun. Seorang anak tunggal yang telah kehilangan kedua orang tuanya. Memyambung hidup dengan bekerja part time di dua tempat membuat IPKnya turun. Penurunan IPK membuat beasiswanya teranc...