The Comunicator

1.3K 194 39
                                    

.
.
.
.
.
Jam sudah menunjukkan pukul setengah enam pagi. Aktifitas dari keluarga kecil di sebuah rumah sederhana itu tampak amat sibuk. Suara ketel di atas kompor yang berbunyi disertai suara minyak panas yang tengah mematangkan beberapa potong tempe, serta suara air dari balik kamar mandi menghiasi hiruk pikuk rumah.

"Senja, tolong nasinya diaduk, nak. Sudah matang dari tadi."

Senja Maharani yang sedang memakai dasi birunya itu dengan cepat menuju penanak nasi. Setelah ia angkat penutupnya, sebuah asap mengepul. Lalu ia aduk nasi itu hingga ke bagian bawah.

"Ibu pagi ini masak apa? Kayaknya banyak banget yang dimasak?" Tanya Senja lagi setelah menutup penanak nasi.

"Tumis kacang panjang sama tempe goreng aja kok. Kamu hari ini ekskul gak? Mau ibu buatin bekal double lho..." Sita langsung menawarkan pada sang anak.

"Mauuuu..!!" Girang Senja sambil memeluk Ibunya dari belakang.

"Berarti jajannya bisa Ayah kurangin, ya..." Hakim yang baru saja keluar dari kamar mandi itu sedang mengusap rambut basahnya dengan handuk.

Senja yang mendengar hal itu pun langsung mengerucutkan bibirnya dengan lucu.

"Ayah kejam sama Nja... Katanya Nja anak kesayangan Ayah... Fix sih ini, pasti aku ditemuin di tong sampah depan rumah..." Senja berujar sambil melepas pelukannya pada sang Ibu.

Priyanto Hakim yang mendengar gurauan sang anak pun langsung melempar handuk yang ia pakai ke kepala Senja hingga menutupi wajah gadis itu.

"Salah... Ayah sama Ibu tuh temuin kamu depan rumah, dibawa sama Mbok Ijah selepas jualan lele di pasar...."

"AYAAAAHHH!!!"

Senja yang mendengar sang Ayah balas bercanda itu sontak mengejar sang Ayah yang sudah berlari ke arah ruang tamu. Sita yang melihat hal itu hanya menggeleng kepala sambil tersenyum.

"Bekalnya sudah? Gambar ATLASnya sudah? Kamusmu sud-"

"Sudaaaah, Ibuuuu... semua sudah Nja bawaaa..." Senja langsung memotong perkataan sang Ibu.

"Biarin aja, Bu... Kalo ketinggalan, paling juga nangis di kelas..." Hakim berkata lucu sambil membuka kaca helm dan menujulurkan lidahnya. Hal itu bisa ditangkap Senja dari kaca spion yang langsung membuat Senja mencubit pinggang sang Ayah.

"Nja kan murid teladan, Bu. Nja ketua kelas. Jadi Nja pasti jadi anak bertanggung jawab. Bekal buat istirahat siang sama ekskul paskibra nanti sudah Nja bawa. Gambar ATLAS semalam sudah, kamus bahasa inggris juga. Lihat nih, Bu... Tasku sampai penuh... Bawahnya juga sudah mulai sobek..." Senja mulai mengadu.

Sita dan Hakim sama-sama menengok ke arah Senja. Terlebih Hakim, ia memegang stang motor dan menengok ke belakang untuk memperhatikan tas ransel sang putri.

"Itu kebanyakan isinya. Kamu apa berhenti ekskul saja? Jadi nggak pulang sampai sore kan..." ujar Hakim memberi saran.

"Jangan dong, Yah. Sebentar lagi pemilihan untuk perwakilan kibarin bendera di upacara 17-an di Provinsi. Kalau berhasil, nanti Nja bisa masuk SMA favorit. Di SMA nanti, Nja mau ikit seleksi ngibarin bendera di Istana Merdeka." Senja mencoba menjelaskan. "Lagian, peringkat Nja kan gak pernah turun lho walau ikut paskibra..." imbuh Senja lagi yang kembali memperbaiki posisi ranselnya.

Hakim tersenyum dan mengelus pipi ranum sang anak dengan sayang.

"Jangan capek-capek. Yang jaga Ibumu cuma kamu lho nanti." Ujar Hakim lagi dengan wajah teduhnya.

"Siiaaappp, Ayaaaah..."
.
.
.
.
.
Tok! Tok! Tok!

"Masuk"

Ketika suara dari dalam terdengar, Hakim langsung membuka pintu dan menutupnya perlahan. Topi hitam yang ia pakai semakin ia tarik ke bawah agar area di wajahnya hanya matanya yang terlihat. Buff sewarna topinya pun sukses menutupi hingga di bawah matanya.

Senja untuk GentaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang