Senja menatap keluar kaca mobil dengan perasaan campur aduk. Tas kecil yang berisi ponselnya ia genggam dengan erat.Tidak.
Bukan tas itu yang meracaukan pikirannya. Tapi suaranya nyaris tercekat tatkala pertama kalinya ia mendengar suara Ibu kandung sang suami.
"Dari tadi kamu diam sayang..."
Senja yang terkesiap dengan suara Genta akhirnya memutar kepalanya dan mendapati sang suami tengah memiringkan kepala seolah mengecek keadaan dirinya.
"Hah? Oh, nggak... aku lihat pemandangan di luar." Girang Senja sealami mungkin agar Genta tak menangkap kegelisahan apa pun dalam suaranya.
Melihat Genta sudah kembali menyandar, dirinya menatap jemari Genta yang sedang merangkum jemarinya. Senja tersenyum teduh melihat jemari besar sang suami yang seolah ingin melindungi dirinya.
Senja yang mengangkat kepalanya dari pemandangan itu menengok ke depan. Entah mengapa matanya beradu pandang dengan mata Satria, orang kepercayaan sang suami. Jika Senja menatap Satria dengan mata sedikit sendu, maka Satria menatap dirinya seakan penuh selidik. Tapi Senja cepat memalingkan wajah dan menggenggam jemari Genta.
Ia paham, jika sedikit saja ia berprilaku di luar kebiasaan, maka Satria akan dengan sangat mudah melaporkan apa pun yang terlihat pada Genta.
Sesampainya di tempat acara penting itu, Senja cukup terkejut. Dia pikir keluarga konglomerat akan mengadakan acara pernikahan mewah di hotel bintang lima, ataupun pesta taman yang memukau. Nyatanya, acara diadakan secara terbuka itu tergolong amat sederhana untuk ukuran keluarga Bratadikara.
Setelah Satria mendapatkan tempat parkir yang tak terlalu jauh dari kediaman mempelai, Senja dan Genta segera turun dari kendaraan mereka.
"Menyusul saja Sat ke dalam." Ujar Genta yang tengah meluruskan tongkatnya dibantu oleh Senja di sisinya.
"Saya tidak janji, Pak. Saya akan menghampiri Bapak dan Ibu kalau saya memutuskan ke dalam. Karena saya akan mengisi bahan bakar dahulu." Ujar Satria lagi.
Senja memutuskan tak menaruh jemari Genta di sikunya. Ia langsung menggandeng sang suami dan berjalan perlahan di sisinya.
"Acaranya cukup sederhana lho, Mas. Kupikir bakalan mewah dan meriah sambil undang artis ibu kota." Ujar Senja yang menyusuri pagar bercat putih dan besi berwarna hitam tersebut.
"Bang Haris memang dari keluarga amat berada. Keluarga besarnya salah satu orang terkaya di Indonesia. Tapi sejauh yang kutahu, orangnya tidak hanya cerdas dan berwibawa, tapi juga tidak suka dengan kemewahan." Genta berujar kembali.
"Kata Mama, keluarga Bratadikara itu pemilik perusahaan besar juga ya? Tempat mas nanem saham, kan?" Senja bertanya lagi.
Genta terkekeh mendengar ujaran kata yang diucapkan Senja. Baginya itu terdengar unik dan membuatnya geli.
"Ya... Mungkin lebih kurangnya seperti itu. Beliau juga dulu kakak kelasku saat SMA. Keluarga kami dahulu saling terhubung. Bratadikara, Yufrizal, Wira Atmaja, Adhinata, Jayantaka, juga Zulfikar. Dua keluarga lain pun cukup terlibat, seperti Jaya Negara dan..." Genta menggantungkan ucapannya.
"Dan?" Senja memgangkat wajahnya memandangi wajah Genta yang tiba-tiba mengeras.
"Wicaksono. Sejarah keluarga yang terlalu panjang untuk aku jabarkan di pernikahan sepenting ini. Kita sudah sampai?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja untuk Genta
General FictionSenja Maharani. Mahasiwi jurusan Ilmu Komunikasi, berusia 20 tahun. Seorang anak tunggal yang telah kehilangan kedua orang tuanya. Memyambung hidup dengan bekerja part time di dua tempat membuat IPKnya turun. Penurunan IPK membuat beasiswanya teranc...