Cinta Tak Terbatas Waktu (Part 2)

31 10 4
                                    

Terlihat lima anak kecil sekolah dasar sedang bergerombol melingkari sesuatu. Rupanya, mereka sedang merundung anak pindahan yang baru masuk ke sekolahnya. Mereka terkenal sebagai anak badung yang suka memalak adik kelasnya, karena anak-anak yang sedang duduk di kelas enam itu merasa dirinya lebih besar dari yang lain, sehingga bisa berkuasa sesuka hatinya.

Seorang gadis kecil yang sedang berjalan menuju gerbang sekolah, tak sengaja melihat sebuah penindasan di sana. Meski takut, tapi ia tidak mau membiarkan ketidakadilan terjadi di negeri tercinta ini. 

Tak jauh dari tempatnya berdiri, ia melihat sebuah bolpoin warna merah di tanah. Ia lalu mengambilnya, kemudian mencoret-coret lengan kirinya juga wajahnya selayaknya tato, serta tak lupa mendirikan kerah bajunya dan menyingsing lengan bajunya ke atas. Barulah setelah itu, dia berjalan mendekat.

"Hei, kalian! Beraninya cuma sama anak kecil yang lemah! Kalo berani, sini lawan aku! Aku tuh anak kesayangan preman pasar Tanah Abang, tau gak?! Sini maju! Kalo sedikit aja aku lecet, kalian baru tau rasa," ucapnya menantang.

Anak yang dirundung itu menatap siapakah anak yang berani membelanya di saat dirinya juga belum pasti bisa lepas dari ancaman. Tipis, dia tersenyum kala melihat penampilan gadis itu yang amburadul dan sedikit tomboi.

Mendengar gertakan tadi, beberapa anak mulai gentar, tetapi salah seorang darinya memberi dorongan agar jangan takut. Ia pun melangkah mendekati gadis itu.

"Kelas berapa lo? Nggak usah jadi pahlawan kesiangan deh. Mending lo pulang aja meluk guling sambil nangis. Ya nggak ges?" Ucapan anak itu membuat kawan-kawannya tertawa.

"Kelas 3 aku. Tapi setidaknya aku punya akal dan hati, nggak seperti kalian yang suka buat keributan. Malu-maluin orang tua dan sekolah tau gak?!"

Tidak terima dengan penghinaan itu, anak tinggi besar tersebut langsung mendorong tubuh mungil gadis itu hingga terpelanting ke tanah, meninggalkan goresan merah di siku kanannya.

"Kamu tidak apa-apa?" Anak laki-laki yang dirundung itu seketika marah melihat kejadian barusan. Berdirilah ia dan berkata, "Hei kalian berlima! Kalo mau buli, buli aja gue, nggak usah sampe nyakitin anak cewe dong!"

Saat kedua kubu itu naik pitam, mereka pun berkelahi dan saling adu jotos.

Di ruang BK, para orang tua anak tersebut dipanggil menghadap guru. Gadis yang menjadi saksi itu pun tentu saja memberikan keterangan yang sebenarnya dan sejelas-jelasnya. Hingga kemudian, anak-anak yang terlibat perkelahian itu terpaksa harus dikeluarkan, termasuk anak pindahan yang baru akan masuk sekolah itu juga.

"Kamu nggak apa-apa?" tanya si anak laki-laki.

"Nggak apa-apa. Tadi udah dikasih obat kok. Kamu nggak apa-apa? Sepertinya wajah kamu lebih buruk dari lukaku ini."

"Bukan masalah besar. Oh iya, nyalimu besar sekali tadi. Boleh aku tahu namamu? Setidaknya perkenalan untuk yang terakhir kalinya sebelum aku pergi."

"Nih!" Gadis itu menunjukkan papan nama yang tersemat di dada sebelah kanannya.

"Nairin Trishandana?"

"Trishyandana. Y-nya dibaca 'I'."

"Oohh. Oke! Makasih banyak Nairin."

"Ari! Ayo pulang! Malu-maluin mama saja!" Seorang perempuan yang merupakan ibu anak itu keluar dari ruang BK. Penampilannya sangat mewah dan elegan, terlihat seperti orang yang sombong. "Makasih ya, Nak, sudah membela Ari tadi. Tante pamit pulang dulu, ya. Dadah!" Namun senyum ramah itu membuat pemikirannya terpatahkan begitu saja.

"Sama-sama, Tante. Hati-hati di jalan!"

***

Ari tersenyum sipu, merah merona wajahnya, saat matanya tertuju pada sebuah buku kecil yang sudah usang. Tertulis di sana 'Nairin Tirsiahndana'. Dulu ia belum cakap dalam menulis. Kini, ketika dirinya sudah mengetahui nama panjangnya, ia perbaiki tulisan itu menjadi 'Nairin Trishyandana'.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 26, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kisah Tentang Kamu dan DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang