ALANA

6 2 0
                                    

  'Jangan redup, mungkin kamu adalah alasan orang lain untuk tetap hidup'–Tiffani Alana    

*
*
*
*
*
               

Kamis, 28 Oktober 2004

Hari itu adalah awal di mana tragedi yang menimpa hidupku berlangsung, kejadian yang sangat membekas dalam benak ini hingga dalam sekejap bisa mengubah pemikiran ku tentang kehidupan.

Saat itu aku sedang mengemas beberapa baju untuk di masukan ke dalam koper, sebab aku harus kembali bekerja sebagai pramugari di salah satu maskapai penerbangan.

"Alana, apa kamu akan terbang lagi hari ini?" tanya Mami.

"Ya Mam, Nana akan terbang lagi hari ini. Pukul tiga sore," jawabku datar.

Setelah itu Mami pun pergi, sebenarnya aku sangat lelah sekali, di umurku yang masih 19 tahun sudah harus bekerja dan menjadi tulang punggung keluarga sebab usaha Papi kini telah bangkrut.

Aku merasa seperti sapi perah mereka yang harus bekerja tanpa henti, aku sudah tidak punya tujuan hidup. Hari-hariku hanya seperti ini, mencari uang, uang dan uang, hingga lupa bahwa aku juga manusia bukanya robot yang tidak memiliki keinginan serta tujuan hidup selain uang.

Setelah selesai berkemas aku lalu menyeret koper itu ke luar dari kamar dan membawanya ke teras depan.

"Kakak mau berangkat kerja ya?" tanya Angkasa, adikku.

"Iya Aksa, Kakak akan pergi bekerja. Adik Kakak belajarlah dengan rajin nanti akan Kakak bawakan sesuatu pulang dari Medan."

"Iya Kak, hati-hati ya di jalan," pesannya.

Aku pun hanya mengangguk dan berlalu masuk taksi yang sudah ku pesan. Mobil ini melaju menuju bandara tempat pesawatku akan melakukan penerbangan

"Kita sudah sampai, Nyonya."

Mendengar itu aku segera turun membawa serta barang-barangku menuju pesawat.

"Na ... Nana, tunggu!"

Aku menghentikan langkah dan mengedarkan pandangan saat suara yang tak asing terdengar memanggilku.

"Hai Ca, baru datang juga rupanya," jawabku menyapa Aca, teman satu profesi ku.

"Iya nih, untung nggak telat. Yuk, masuk."

Aku dan Aca berlalu masuk sambil berbincang basa-basi. Setelah kami memasuki pesawat kami pun mulai bekerja dan memandu penumpang, menjelaskan rute dan menghidangkan makanan.

Perjalan kami terasa tenang tanpa hambatan apa pun. Hingga kini jam sudah menunjukan pukul empat pagi, semua penumpang sedang terlelap tidur sedangkan aku tengah duduk bersama Aca di belakang kemudi pesawat.

"Na, jangan lupa nanti datang ya ke acara pernikahanku!" ujar Aca.

"Iya Ca, selamat ya. Aku ikut senang dengarnya."

"Iya Na, makasih. Aku memang senang banget, Na ... Mas Angga masih menungguku di Medan dan hari ini adalah penerbangan terakhirku."

Fikiranku melayang berharap akulah Aca, bersyukur sekali jadi dia, karir yang bagus dan sekarang sudah menemukan tujuan hidupnya. Aku sendiri masih sama, tidak ada tujuan atau rencana hidup ke depannya selain mencari uang.

Tak lama terdengar instruksi dari pengeras suara bahwa sebentar lagi pesawat akan segera mendarat, namun tiba-tiba hatiku merasa was-was dan jantungku berdetak lebih cepat.

"Ca, kenapa perasaanku nggak enak banget ya?" tanyaku pada Aca.

Namun bukanya menjawab dia justru terdiam seribu bahasa, tatapannya kosong dengan tangan yang saling bertaut, aku jadi sadar, Aca akan melakukan itu ketika firasatnya buruk, seperti saat dulu ketika kami terbang bersama.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 07, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Dunia AlanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang