Chapter 8

302 22 1
                                    

Pagi Rere itu selalu dihiasi dengan suara alarm memekik, dia akan dengan cepat mamatikannya sebelum Devan sempat terbangun. Kemudian bangun lebih dulu untuk membersihkan diri, menyiapkan berbagai kebutuhan Devan bersama Alea. Mengantar keberangkatan keduanya selanjutnya dia akan membersihkan rumah. Dan hari ini alarm itu di biarkan terus berdering sampai membuat Devan sendiri akhirnya bangun, matanya menangkap tubuh Rere berjalan dari balik pintu kamar mandi, meringis kesakitan sambil memegang perut.

"Kenapa Re?" tanyanya mencoba membuka mata yang masih berat.

Wanita itu membuka selimut, kembali bergelung disana. Wajahnya meringis kesakitan "Bisa bantu beli pembalut nggak?" adunya, ia sudah pindah posisi menghadap Devan tapi masih memegang perutnya. Melupakan pertengkaran kecil mereka kemarin malam.

"Sekarang?" tanyanya yang langsung membuka mata. Bangun dengan tubuh yang masih bertelanjang, untung bagian bawah tubuhnya terhalangi selimut, meyelamatkan sisa tubuh bawahnya yang polos.

Rere mengangguk.

"Sakit banget ya? Mau aku beliin obat?" Devan mengelus pipi Rere, mencoba menenangkan dia yang terlihat menahan sakit "Bagian mana yang sakit?" kantuknya menghilang mendapati Rere meringis kesakitan juga sedikit membuat ia panik, Devan coba ikut meraba perut Rere yang ia pegang kuat. Jawaban yang ia terima hanya gelengan. "Aku mandi dulu deh, abis ini aku beliin" ia sudah beranjak bangun, menyambar kimono tidur yang Rere siapkan, memakainya dengan gerakan cepat masuk ke kamar mandi, sedikit terburu-buru.

Agaknya dia tahu, penyebab segala emosi tidak jelasnya selama ini karena siklus bulanannya yang mau datang. Dia memang suka begitu, suka sentimental dan baper sendiri saat mendekati masa menstruasi. Penyebab pertengkaran bodohnya dengan Devan, juga penyebab khilafnya dia terlalu binal kemarin malam. Gelombang marah tak berdasarnya kemarin bisa jadi karena siklus bulanannya yang tak bisa di bendung. Membuat perasaan campur aduk, sampai Devan pun kena amuk.

Gila banget sih aku, nikah bukannya tambah sedikit waras malah nambah gak jelas—Rere memaki diri sendiri. Emosinya yang semakin tidak karuan belakangan ini.

Rere menghabiskan waktu sepuluh menitnya untuk menutup mata, susah payang mengalihkan rasa sakit di perutnya, selanjutnya dia mencoba mengumpulkan kekuatan untuk membuat sarapan dan bekal seperti pagi biasanya. Peran itu tidak boleh absen walau dia sedang di dera sakit bawaan wanita seperti sekarang. Walau dengan tenaga yang harus dibagi dengan rasa sakit, tapi ia tak ingin meninggalkan tanggung jawabnya.

Devan selepas mandi langsung berangkat membeli apa yang diperintahkan, hanya butuh waktu limabelas menit sampai dia kembali. Dua tangannya sudah membawa banyak jejeran merk pembalut dengan berbagai varian.

"Kamu beli roti jepang apa mau bikin toko nyq sekaluan sih? Banyak banget yang dibeli" Rere takjub, sekaligus merasa lucu mendapati suaminya datang dengan rentetan tas keresek berjumlah tiga buah besar dengan ukuran, model dan merk pembalut berbeda beda.

Awalnya dia menaikkan sebelah alisnya tak mengerti, tapi saat mendapati Rere membongkar keresek, memilah disana. Ingatannya langsung lurus ke bentuk kotak pembalut yang Rere pilah. Memng agak mirip roti sih kalau dari luar.

"Aku gatau mana yang biasa kamu pakek, jadi aku ambil semua" Devan berhasil menaruh mereka diatas meja dapur, Alea memerhatikan dengan masih menyantap sarapan. "Aku udah beli semuanya jadi kamu bisa milih mana yang biasa kamu pakek"

"Mbak kasirnya bilang apa tadi waktu kamu ambil semuanya?" tanyanya menahan tawa, memilih satu kotak pembalut di dalam keresek.

"Biasa aja sih, orangnya nggak nanya macam-macam" Ia sudah berada di meja makan, mendudukkan diri dengan tangan mengelus sebentar rambut Alea, anak itu tengah memakan roti selainya.

Mr ArsitekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang