Chapter 6

299 23 0
                                    

Devan membuka pintu mobil, mengambil alih tubuh Alea untuk digendongnya, disamping Rere mengemasi belajaan sebelum ikut masuk, lelaki tinggi di depannya menunggu Rere sembari mengelus rambut Alea.

Dalam hati Rere sudah ingin memaki, kesepakatan awal menikah mereka sudah jelas bahwa keduanya tidak akan saling mencampuri urusan masing-masing sampai batas tertentu—mungkin sampai mereka saling mencintai. Melihat Devan hari ini datang ke tempatnya berkumpul bersama tiga temannya, tentulah membuat Rere sedikit shock, kesal. Bagaimana tidak? dia sudah coba cukup rapi menyembunyikan hubungan mereka loh? Dan entengnya Devan masuk Cafe bawa Alea lagi, seperti orang gak ada beban. Hampir mati duduk dia tadi.

Rere membuka kunci rumah diikuti Devan di belakangnya, masuk ke dalam rumah, berjalan ke dapur sedang Devan ke kamar Alea. Gadis kecil di gendongannya sudah lelap dalam pelukan Devan. Sejak pulang dari cafè tadi gadis kecil itu, langsung lelap, berakhir dengan Devan yang harus menggendongnya saat mereka berbelanja ke supermarket.

Rere membongkar semua belanjaan, satu persatu memilah mana saja yang akan dia taruh ke dalam kulkas besar Devan. Tak beberapa lama suara langkah kaki mendekat, dengan kemeja kerja lengan tergulung ia duduk di depan meja makan memerhatikan Rere yang sibuk dengan aktivitasnya membongkar belanjaan.

Devan berdehem, mencoba mencari perhatian Rere yang terlalu fokus dengan bahan belanjaannya, reaksi yang dia dapat wanita itu terlihat sama sekali tak terusik, semakin membuat Devan merasa aneh. Sejak masuk mobil, lalu berbelanja ke supermarket tidak sedikitpun Rere mencoba merespon Devan saat ia bicara. Terkesan acuh dan abai.

"Masak apa?" ia akhirnya memberanikan diri bertanya. Melupakan momen dia yang terus terabaikan.

Satu kaleng sarden yang Rere pegang jatuh menggelinding untungnya tidak pecah, buru-buru Devan bangkit dari kursi mendekat ke konter, membantu mengambil, berjalan lagi mendekati Rere yang mulai memasukkan beberapa sayuran segar ke dalam kulkas.

"Sardennya nggak usah di taruh kulkas mau aku masak!" jawab Rere sedikit sarkas, saat dia hendak mengikuti tangan Rere menjejalkan barang belanjaan mereka.

Patuh saja, Devan kembali meletakkan benda itu ke konter, tak banyak bicara. Memang ada yang aneh pikirnya begitu, merasa tak wajar dengan nada Rere yang dirasa sedikit membentak.Meski begitu Devan masih mencoba tak bertanya penyebabnya.

Rere memakai apron mengambil pisau dan beberapa bahan yang akan dimasaknya untuk sarden. Devan sudah kembali duduk di tempat semula, memperhatikan. Menatap intens setiap pergerakan Rere memotong bawang bombai dan beberapa sayur. Karena memang letak konter yang berhadapan langsung dengan meja makan, Devan bisa bebas memerhatikannya dengan kaki menyilang.

Tak ada yang membuat Rere harus terburu-buru memasak, tapi wanita itu mengiris bawang bombai dengan keras, menimbulkan suara bergemelatuk yang dibuat-buat, tanda orang sedang kesal dan sedang melampiaskannya pada apapun yang ia pegang.

Saat tangannya begitu cepat bergerak Rere tak sadar sedikit menggores jari telunjuk. Reflek ia meletakkan pisau, sedikit membanting. Devan yang memang tidak mengalihkan pandang sama sekali berjalan tergupuh mendekat dengan bibir lurus. Sudah bisa ditebaknya jari itu akan teriris saat Rere tak memotong mereka dengan sepenuh hati. Memang ada yang aneh kan?

"Mana yang terluka?" buru-buru ia mengambil tangan Rere yang coba ia tekan di apron dusty blue nya. "Sini" Devan menarik tangan itu mendekati kitchen sink membilas darah yang sedikit mengalir dari sana.

"Aduh perih" wanita itu mengerang saat rasa perih langsung menyerang.

Devan menarik tangan Rere, melihat darah segar mengucur dari luka robek yang ditimbulkan pisau tadi belum juga berhenti.

Mr ArsitekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang