"Putusin salah satunya, Gi. Case closed, hidup lo aman. Nggak kucing-kucingan kayak gini terus." Kareen menatap iba ke arah sahabatnya yang tengah duduk menghadap balkon kamar. Bibir merah gadis itu tidak hentinya menghisap selinting tembakau yang kini tersisa setengah.
Gendhis Ayu, gadis yang kini menggugurkan abu rokok dengan ujung jemarinya itu mengulas senyuman tipis yang bahkan hampir tak kentara. "Nggak segampang itu, Reen." Ujarnya.
Kareen mendengus panjang. "Nggak gampang apanya sih? Lo tinggal tanya ke diri lo sendiri sebenernya siapa yang lo seriusin, gampang kok."
Gendhis membalas tatapan sengit sahabatnya itu dengan sebuah senyuman tanpa arti. Perlahan bibir merahnya kembali mengepulkan asap rokok.
"Udah gila beneran ya lo gue liat. Gue yakin kok, kalo posisi lo ada di salah satu di antara mereka lo pasti ngamuk. Hargai perasaan orang lain, Gi. Gue cuman nggak mau lo yang kenapa-napa."
Si cantik dengan rambut panjang tergerai itu justru beranjak berdiri setelah menyundutkan rokoknya pada asbak. Berjalan menghampiri Kareen yang berdiri di depan meja makan unit apartemen miliknya. Kedua tangannya dengan usil menekan kedua pipi Kareen. "Duh, perhatian banget sih. Gimana kalo lo join jadi yang ketiga sekalian?"
Kareen Lazuard sempat memaku sesaat sebelum menepis kasar kedua tangan Gendhis di pipinya. "Orang gila! Gak waras beneran lo!" Rutuknya kesal seraya berjalan cepat masuk ke dalam kamar Gendhis. Suara keras pintu yang tertutup membawa sebuah tawa terbahak keluar dari Gendhis.
Tidak sampai satu menit pintu tertutup, Kareen kembali keluar seraya melemparkan sebuah kotak ke arah Gendhis yang masih berdiri di depan meja makan. "Setidaknya kalo udah tau gue mau dateng itu, buang barang haram lo!"
Kotak itu tertangkap cekatan oleh Gendhis yang masih tertawa melihat wajah memerah Kareen yang kembali masuk ke dalam kamar.
"Yaelah, kayak nggak pernah aja lo sama Naren." Seru Gendhis, membuat Kareen semakin memerah wajahnya.
—
Apa yang membuat Gendhis sulit untuk melepaskan sejatinya ia sendiri tidak mengerti. Jatuh cinta ia kira tidak akan sebegini merepotkannya ketika beranjak dewasa. Ternyata ia salah, seluruh hal berubah menjadi sangat merepotkan dan bahkan membingungkan dalam satu waktu.
Berurusan dengan perasaan orang lain dan diri sendiri tidak pernah semudah apa yang selama ini ia bayangkan.
"Hai, how was your day?" Pertanyaan itu terlontar ke arahnya ketika sosok jangkung dengan kacamata yang menggantung di hidung bangirnya memunculkan diri. Menyapa Gendhis yang baru saja turun dari lift apartemennya.
Satu rangkulan melingkar di pinggang Gendhis begitu ia sampai pada lelaki itu. Disusul dengan sebuah senyuman manis sebagai penyambut kedatangannya.
"Fine. Kamu udah makan malam belum? Aku lagi kepingin banget makan sate nih, mau nggak?"
Ada satu tawa ritmis yang lolos dari belah bibir lelaki itu. "Boleh, mau makan sate apa? Sate kambing? Sate ayam? Atau sate apa?"
"Sate kambing? Boleh deh, aku lagi kepingin juga dari kemarin."
"Okay, kita ke sana ya, Cah Ayu."
Gendhis tersenyum, mengeratkan rangkulan lengannya pada pinggang sosok yang lebih tinggi darinya itu. Beberapa pertanyaan tentang apa saja yang telah ia lakukan hari ini menemaninya selama mereka berjalan menuju mobil yang terparkir.
Ada satu rumah makan sate yang menjual sate kambing muda yang begitu terkenal di kota. Tak jarang pengunjung yang datang berasal dari luar daerah mereka.

KAMU SEDANG MEMBACA
Kalopsia
FanfictionBeberapa hal yang memang tidak perlu untuk diungkapkan. Hal, dimana kenyataan akan selalu terasa lebih menyakitkan dari khayalan.