17. Kalopsia

159 15 0
                                    

Kenan berdiri seorang diri di depan sebuah nisan yang beberapa malam terakhir selalu ingin ia kunjungi. Tatapan matanya yang biasanya tajam kini terlihat begitu sendu. Wajah tegas itu menyimpan begitu banyak duka tak berpenawar.

Sepoi angin perlahan membelai lembut wajahnya, beberapa rambutnya yang terjatuh di dahi tertiup pelan. Ia sekali lagi menatap dalam nama yang terukir di sana. Nama yang dulu setiap saatnya selalu mengisi harinya.

Dan diantara hening yang menyelimuti, Kenan berbisik pelan. "Kabar lo di sana gimana, Ga?" Tidak akan pernah ada jawaban atas pertanyaan yang ia utarakan.

Setara dengan kesakitan yang perlahan ia rasakan. Ketika akhirnya lututnya tertekuk, ia terduduk. Dengan kedua mata yang mulai basah. Ia menunduk dalam. Mengadu dengan keheningan yang tidak akan pernah menjawab, hanya cukup menenangkan.

Ternyata rasanya begitu sakit. Mencintai sebuah kemustahilan yang selama ini selalu ia semogakan. Gendhis Ayu selalu menjadi pengharapannya. Tempatnya memusatkan seluruh rasa ingin dan seluruh angan. Gendhis Ayu selalu menjadi hal yang pertama kali ia sebutkan dalam hal kebaikan.

Bayangannya akan gadis itu tidak hanya sebatas akan bermain berdua di pantai kala senja. Lebih jauh, dan sangat jauh. Kenan pernah membayangkan begitu indahnya ketika ia akan dipanggil Ayah sedangkan Gendhisnya akan dipanggil Ibu.

Ia pernah membayangkan betapa menyenangkannya terbangun pada dini hari dengan suara bayi sedangkan yang akan ia lihat adalah wajah cantik si Gendhis Ayu.

Segalanya. Segala hal baik mengenai dirinya di hari kelak selalu ia bayangkan bersama Gendhis. Membuktikan jika gadis itulah rumah dari seluruh permohonan dan doanya.

Sayangnya, berharap pada manusia si makhluk dinamis adalah bagian dari kesalahan yang fatal. Kenan meletakkan seluruh harapan dan angannya dalam fana.

Seluruh pengharapan yang ia lihat selama ini hanyalah bagian dari kalopsia. Dimana hal-hal dalam khayalan akan selalu indah dari pada kenyataan. Dimana fana pada mata selalu jauh lebih indah dari pada fakta. Gendhis Ayu itu bagian dari kalopsia.

Dan siapalah Kenan, yang tak lain sebatas manusia dengan segala ketidak tauannya. Ia tidak terlambat menyadari, ia hanya dibiarkan mengerti. Bahwa tidak seluruh harapan akan berpulang dengan sesuai angan.

Tetapi, harapan palsu pun tetaplah sebuah harapan.

Manusia hanya bertugas menjalankan.

"Sakit, Ga. Gue minta maaf."

Hening pemakaman pada pagi hari itu. Hanya tersisa isakan pelan Kenan yang tersamarkan suara ranting pepohonan.

Sebuah kalimat penutup yang keluar dari bibir Kenan mungkin akan menutup seluruh pengharapan yang selama ini ia panjatkan.


-


Gendhis membuka pintu ruangan, ia dihadapkan langsung oleh Bapak dan Maminya yang berada di dalam. Sekar berhenti menyuapkan makanan dan menaruh mangkuk yang ia bawa ke atas meja. Memberikan Gendhis ruang untuk mulai berbicara.

Gadis itu menatap perlahan ke arah kedua orang tuanya secara bergantian. Rasanya menegangkan. Ia seperti tengah dihakimi dan mungkin memang benar adanya. Lidahnya kelu ketika ia mulai menatap ke arah kedua mata tajam Bapaknya.

Lelaki yang menurunkan seluruh watak keras kepala padanya itu hanya terdiam, menanti Gendhis lebih dulu membuka suara. Maka dengan seluruh keberanian yang mungkin hanya tersisa seujung kuku, Gendhis Ayu perlahan memantapkan dirinya.

"Bapak udah baikan?" tanyanya pelan. "Aku mau bicara." Lanjutnya. Ia menarik napas panjang ketika ucapannya hanya dinanti lanjutannya tanpa diberi sebuah jawaban. "Aku mau minta maaf. Aku udah bikin semuanya jadi berantakan, bahkan aku bikin malu Bapak sama Mami."

KalopsiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang