04. Heartless

165 15 9
                                    

Pelukan itu mengendur, senyuman yang terpatri di wajah memudar. Isak tangis bersautan. Gendhis Ayu kebingungan. Ia menatap sosok itu tak mengerti ketika ia melihat Ibunya duduk di ujung ruangan hampa itu dengan linang air mata.

"Mas, ini kenapa?"

Perlahan, senyuman itu kembali terlihat. "Mas!" Serunya ketika pegangan tangan mereka terlepas. Sosok itu masih mengukir senyuman, seperti tengah mengabarkan pada Gendhis jika itu adalah senyuman terakhir yang dapat Gendhis lihat.

"Mas! Mas Dirga!"

Gendhis terbangun begitu sosok itu menghilang sempurna dari mimpinya. Jemarinya bergemetar mengingat apa yang telah ia lalui. Setelah menenangkan dirinya, gadis itu beranjak berdiri untuk mengambil minum di dapur.

Jam menunjukkan pukul dua dini hari. Dan ponselnya yang menampilkan layar masih tak memunculkan satupun notifikasi dari Elang. Lelaki itu meninggalkannya dengan perasaan yang rancu dan serba salah. Gendhis menghela napas panjang sebelum kembali masuk ke dalam kamarnya.





"Lo kenapa dah sama Elang, ada masalah?" Renjana bertanya pada Gendhis yang sedang berjalan menuju studio atau ruang kelas mereka di kampus.

Gendhis melirik malas ke arah lelaki di sampingnya itu. "Dia ngomong apaan emang ke lo?"

"Nggak ngomong apa-apa sih, cuman nyusahin banget anjing. Suruh jemput gegara mabok parah."

"Di Aosta?"

"Lah, lo tau? Habis ketemuan kan lo sama dia? Muka dia nggak enak banget dari semalem."

"Lo udah tau, Ren. Nggak usah kayak nggak tau apa-apa gitu deh." Satu senyuman miring terukir di bibir Gendhis yang kini duduk di meja miliknya sendiri seraya membuka ponsel. Mengirimkan pesan balasan pada seorang temannya.

Renjana mendengus kesal. "Setidaknya lo tuh juga ngomong ke gue, Gi. Biar gue tau apa sebenernya salah dari kalian. Dah gede suruh komunikasi susah juga kan lo pada."

Kali ini Gendhis menyengir. "Bukan gue yang susah, temen lo tuh yang kayak anak kecil."

Mulut Renjana terbuka. Terkejut dengan jawaban Gendhis. Seperti anak kecil katanya? Seperti. Anak. Kecil? Yang betul saja. Bahkan Gendhis tau sendiri mengapa lelakinya itu marah padanya.

Renjana mengangguk singkat. "Iya deh, terserah lo."

Gendhis kembali tersenyum setelah mematikan ponselnya. Ia lantas beranjak berdiri dan mengemasi barangnya. Sama sekali belum menyentuh pekerjaannya yang telah mendekati deadline.

"Mau kemana lo?" tanya Renjana.

"Ada janji, duluan."

Lantas langkah Gendhis terburu, terlihat riang dan tanpa beban keluar dari dalam studio.







Kenan hanya terdiam di kursinya saat memandangi layar ponselnya yang tak kunjung memunculkan balasan dari Gendhis. Gadisnya itu terakhir kali mengirimi pesan hanya kemarin saat mengabari jika telah sampai di apartemen.

Sejujurnya, Kenan bukan tipe lelaki yang harus mengetahui segala hal yang tengah Gendhis lakukan. Tetapi pesan yang hanya terbaca dan tanpa menunjukkan tanda-tanda akan terbalas itu cukup menyita pikirannya. Apakah dirinya mengganggu? Apakah gadisnya sebegitu sibuknya?

Dan banyak pertanyaan lain yang terus menerus bersuara riuh di dalam kepalanya.

Pintu ruangan yang terketuk akhirnya mengalihkan perhatiannya sejenak. "Masuk, Rhyl." Ujarnya pada Sheryl yang berada di luar ruangan. Disusul dengan suara pintu yang terbuka. Sekretarisnya itu datang membawa map berwarna coklat.

KalopsiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang