DUA

591 55 53
                                    

Aku tak menyangka bahwa jarak yang harus kami tempuh benar-benar jauh. Dari pusat kota Bandar Lampung, bus masih menempuh perjalanan sekitar 4 jam lagi. Beberapa titik kemacetan juga semakin memperlambat perjalanan kami bahkan ini sudah hampir sampai di perbatasan Provinsi Sumatera Selatan.

Aku semakin cemas karena menurut pihak personalia di Jakarta, dari pemberhentian bus terakhir kami masih harus naik kendaraan lagi. Perusahaan sudah sepakat untuk menjemput tapi sudah lebih dari satu jam aku dan Adis terdampar, petugas yang seharusnya datang tak kunjung tiba. Apa mereka lupa? Gawat! Kalau hanya aku seorang diri, tidur di kursi tunggu ini pun tak masalah, tapi bagaimana dengan Adis?

Matahari semakin condong ke barat, istriku sudah kelelahan. Wanita itu meringkuk di sebelah tas besar sambil membenamkan kepala dalam lingkaran tangannya, membuatku semakin iba.

"Capek ya?" Tanyaku sambil memijit pundaknya. Adis menggeleng saja saat aku mengusap rambutnya yang panjang.

"Mamas minta maaf ya, kamu jadi susah begini." Aku segera berhenti bicara sebab Adis mengangkat wajahnya sambil melirik seram.

"Mulai lah, Mamas ngomong sembarangan."

"Ya kan memang begitu?"

Lirikannya makin tajam, bibirnya manyun. "Iya, maaf-maaf."

"Yo opo lah! Ndak perlu minta maaf. Mamas nih aneh-aneh ae ... nanti Adis ngambek loh," ancamnya.

Aku terkekeh, gawat kalau dia marah. Bisa-bisa jatah malamku tertunda. Mana sudah puasa hampir seminggu. "Ya deh ... Mamas gak ngomong gitu lagi."

"Tenan yo?"

"Ho'oh," ucapku meniru logatnya. Wanita itu tertawa karena ucapanku yang kaku, ndak pantes katanya.

"Mau makan lagi?"

Adis menggeleng seketika. "Gak ah, Perutku masih mulek." (Mual)

Mulek? Bahasa apa lagi ini. Sudah cukup lama aku menikah dengan Adis, tapi koleksi kata-kata unik miliknya seolah tak kunjung habis terucap dari bibirnya yang ranum. Aku celingak-celinguk melihat sekitar dan mencuri kesempatan mengecupnya.

"Ish! Opo sih?" Adis melotot, wajahnya memerah. 

"Kangen loh!"

"Iki eje' rame Mas." Adis masih tersipu malu. 

"Bodo amat."

Adis mencubit gemas, segera saja aku minta ampun. Derai tawa kami membuat beberapa orang melirik risih. Tak lama suara panggilan terdengar dari pengeras suara musala yang berdiri di seberang jalan. Adis mengingatkanku untuk salat karena aku menjadi mualaf sejak menikah dengannya. 

Aku bergegas mengambil wudhu dan yah, seperti biasa, orang-orang akan melirik karena tatto yang aku buat beberapa tahun lalu sebelum menikah. Padahal gambar abstrak yang melingkar dari punggung hingga ke bawah siku ini, aku ukir untuk menyamarkan luka bakar di tubuhku. 

Menurut cerita pengurus panti, cacat ini aku dapatkan saat berusia dua tahun karena kebakaran hebat yang membuatku jadi yatim piatu. Meskipun rambut gondrong dan jaket kulit membuat penampilanku seperti seorang preman. Sebenarnya aku ini pria baik-baik. Ehem ....

Keluar dari musala matahari sudah benar-benar hilang, sembarut senja kemerahan menghias ufuk barat, temaram lampu jalan dekat agen bus berwarna kuning membuat kesan semakin suram. Apalagi di pinggir parkiran bus beberapa pohon beringin tumbuh rimbun memayungi halaman membuat suasana makin gelap. Kalau kata Adis singup. Seandainya saja melihat lebih lama aku yakin pasti ada makhluk gaib yang bergelantungan.

Aku bergegas kembali, di barisan kursi tunggu Adis bicara dengan dua orang pria yang memunggungiku. Mau apa mereka? Jangan-jangan preman betulan. Adis yang menyadari aku mendekat segera melambaikan tangannya. Kedua pria itu berbalik melihatku.

TEBU MANTEN (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang