SEPULUH

399 43 19
                                    

Adis menekuk kakinya di sofa tamu dalam ruangan kerjaku. Belum juga lima menit dia merebahkan kepalanya, Adis langsung pulas meskipun posisinya meringkuk tak nyaman.

Setelah yakin wanita itu sudah terlelap sepenuhnya, aku berjingkat keluar ruangan sambil menutup pintu sepelan mungkin. Untungnya beberapa karyawan lain juga maklum.

Disisi ruangan yang lain, Mas Bambang duduk di salah satu meja. Tatapan matanya seolah memberikan isyarat padaku untuk mendekat. "Piye Pak Andara, nopo bu Adis sudah tenang?"

"Sudah Mas. Saya kaget betul waktu dia keluar sambil jejeritan."

"Memangnya ono opo toh pak?" Mas Bambang juga terlihat cemas. Pria jawa itu benar-benar loyal padaku.

"Gak tahu, Adis belum cerita, Mas Bambang tadi mau bilang apa?"

"Anu iku Pak. Pas sampeyan keluar sambil lari, opo Pak Andra gak ngerasa ada yang ngikutin tah?"

"Ngak ada tapi memang ada bunyi gresek-geresek di pohon sepanjang jalan. Ya gimana, saya cuma kepikiran Adis. Memangnya Mas Bambang liat apa?"

Pria di hadapanku sedikit sungkan. "Pak, sampeyan yakin ndak ada yang ngikutin?" Sesekali Mas Bambang mengusap tengkuknya sambil melihat ke arah kanan dan kiri.

"Gak ada Mas beneran. Memang kenapa?"

"Saya takut mau bilangnya."

"Ya sudah kalau takut gak usah ngomong."

"Pak Andra ... " Mas Bambang menelan ludahnya dan lanjut bicara "Tadi saya liat ada yang ngikutin Bapak. Pengantin perempuan jawa, kepalanya buntung! Dia melayang di belakang sempeyan!" Mas Bambang meringis ketakutan.

"Yang lebih ngilani, dia jinjing kepalanya sendiri."

Aku mengernyit, Mas Bambang melanjutkan ucapannya sambil menaikkan bahunya. "Saya sembunyi ke bawah setir, soalnya dia nengok pak, ngeliat saya." Lagi-lagi pria berkumis didepanku ini begidik ngeri.

"Ah mungkin Mas Bambang salah lihat," kilahku.

"Ndak Pak, bener saya yakin." Mas Bambang bicara sungguh-sungguh.

"Mas Bambang liat mukanya?"

"Ndak berani Pak. Saya takut setengah mati soale tiba-tiba bau wangi, trus bau bangkai Pak ... ganti-ganti."

"Oalah, Ya sudah biarkan saja. Tapi jangan cerita sama Adis ya? nanti dia tambah takut."

"Enggih Pak Andra"

Belum juga dapat jawaban tentang mimpiku, Pak Wiro dan Istrinya yang kerap bicara sendiri. Sekarang justru hantu pengantin, tanpa kepala! Mengikutiku. Sebenarnya apa yang terjadi?

Sisa jam itu aku kerja seperti biasa. Hari sudah beranjak subuh, waktunya untuk membangunkan Adis mengajaknya untuk sholat, wanita itu terbangun dengan mata yang bengkak. Selesai berjamaah, masih di atas sajadah. Aku kembali bertanya sebenarnya apa yang membuatnya ketakutan.

Menurut penuturan Adis, awalnya tak ada yang mencurigakan, dari pertama kali aku berangkat hingga selesai menonton sinetron faforitnya. Tiba-tiba Adis berhenti bicara.

"Terus?" Tanyaku.

Adis membisu dari sorot matanya, aku tahu dia enggan mengingat kejadian yang membuatnya ketakutan setengah mati. Tubuhnya kembali menggigil hebat, matanya berair.

"Sudah gak apa-apa kalo Adis belum mau cerita, Mamas gak maksa. Sini-sini ...." Aku memeluknya, ketakutan yang tersisa membuat tubuhnya masih bergetar hebat. Perlahan ia bicara sambil terisak.

"Adis mimpi, Mamas pergi ninggalin Adis. Waktu Adis tanya 'mau pergi ke mana?' Mamas cuma bilang 'Jauh' trus Adis langsung bangun."

Adis terisak-isak. "Waktu itu ada suara ketukan gitu pelan ... Adis mulai takut. Terus ada suarane Mamas di pintu depan ...."

TEBU MANTEN (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang