DUA PULUH DUA

357 38 10
                                    

Adis kembali mengompres kepalaku dengan handuk, demamku kembali. Bahkan lebih hebat, "Mamas ki wes diomongi jangan hujan-hujanan." Tangan lembutnya masih sibuk memeras handuk di dalam baskom.

"Mamas sakit kok malah diomelin sih dis?" lirihku lemah.

"Bukane ngomel, cuma ngasih tahu, kemaren kan Mamas belum sembuh betul." Ngeyelnya kembali.

Mendengar omelan Adis membuatku tersenyum lega, akhirnya aku bisa mendengarnya lagi.

"Yah biarin saja 'kan ada Adis yang bisa ngompres." Lirikku, tapi wanita ini malah manyun.

"Tak kerokin ya?" Ancamnya.

"NGAK!" Aku langsung menolak, garis merah kemarin saja belum hilang sudah mau disiksa lagi. Anehnya meski nyeri tubuhku lebih hebat, tapi aku bisa menahannya. Mungkin karena kami sudah tak bertengkar? Adis masih terus menggodaku, sampai ucapannya terdengar berbeda. "Mamas, Adis mau cerita boleh ndak?"

Aku menatap wajahnya lekat. Adis jarang sekali begini. "Cerita apa?"

"Bu Wiro awak'e biru-biru, waktu Adis tanya 'kenapa?' dia cuma bilang jatuh ngunu."

Oh! Ternyata Adis sudah jadi ibu-ibu kompleks yang suka ngerumpi rupanya. "Terus?" Tanyaku lagi.

"Ya Adis curiga saja, jangan-jangan dia dipukulin sama suaminya. Soale kalau jatuh ndak mungkin nyampe matanya biru dan bengkak, ya toh?" kesimpulam Adis persis seperti detektif swasta.

"I-iya juga sih?" Rupanya begini ya rasanya diajak ngerumpi sama istri sendiri, senang sih dia terbuka padaku.

Tapi wajahnya berubah galak, "Mamas gak bakalan kaya gitu kan?" Tuduhnya.

Terang saja aku langsung menyalak. "Ya ngak lah Adis. Sembarangan! Jangankan untuk memukul Adis, membentakmu kemarin saja Mamas sudah hancur." Aku sungguh menyesalinya. Aku pasti gila jika melakukan itu pada Adis.

"Beneran?" Wanita itu berkata lirih, iris mata jernih itu ... Menatap sendu. Seperti tak percaya. Rupanya kesedihan Adis masih tersisa menyadarkanku jika bekas luka yang aku berikan takkan bisa terhapus.

Aku sungguh menyesal, tanganku menarik jari jemari dan menggenggam telapak tangannya yang lembut. Ukuran tangan Adis yang mungil tenggelam dalam satu genggamanku. Kami hanya terdiam dan beradu pandang.

"Maaf ya Adis? Mamas sudah buat kamu terluka." Wanita itu hanya menatapku, netra jernih itu kembali berkaca-kaca.

"Adis ... Mamas tahu semenjak kita menikah, Mamas gak pernah janjikan apapun buat Adis karena memang gak punya apa-apa." Aku menghela napas, entah kenapa hatiku jadi nyeri.

"Tapi satu hal yang bisa Mamas pastikan, tangan ini gak akan pernah berani untuk menyakiti Adis. Mamas lebih memilih untuk memotongnya kalau sampai itu terjadi. Jadi jangan ragu sama Mamas. Perasaan Mamas sama Adis gak akan pernah berubah selamanya!" Ucapku penuh kesungguhan, hanya wanita ini yang ku miliki, aku tak bisa membayangkan jika aku harus kehilangan Adis. Membayangkannya saja sudah sakit luar biasa.

Tiba-tiba saja Adis tertawa lirih padahal netranya masih basah, membuatku bingung. Mungkin aku salah bicara?

"Adis tahu kok, tapi tumben Mamas romantis gini." Adis mesam-mesem gak jelas.

Dasar wanita ini, giliran aku sedikit serius dia malah tertawa bikin kesal saja. Tapi memang senyumnya cantik sih, juga matanya jernih, belum lagi suara medoknya yang lembut. Baiklah aku maafkan.

"Kok malah ketawa sih Dis?" Aku pura-pura ngambek.

"Ndak gitu, selama kita nikah, baru kali ini Mamas bilang begini. Adis ya seneng toh tapi juga geli ... Jadi beneran ndak bakalan begitu kan?" Adis masih senyum-senyum meledekku.

TEBU MANTEN (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang