TIGA PULUH TUJUH

331 38 1
                                    

Mau susah, mau bahagia, kalau belum kiamat tetap saja aku masuk kantor dengan kesedihan yang luar biasa. Memikirkan Adis, kira-kira wanita itu sekarang ada di mana?

Semua orang melihatku dengan pandangan heran, wajar saja mataku yang sipit ini semakin menghilang, semalaman aku tak bisa tidur dan terus memikirkan Adis, merutuk dan menyesal. Rasanya lebih baik aku mati saja.

Kalau membunuh itu tidak dosa dan kalau saja Mas Bambang tak menahanku, mungkin aku sudah menguliti Ayu sampai tulang belulang dan melemparkannya pada anjing liar.

Aku memang sedikit iba dengan kata-katanya kemarin tapi sekarang aku sungguh menyesal, wajah angkuhnya itu semakin pongah seakan berkata dengan bangga jika dia telah berhasil memisahkanku dan Adis. BANGSAT!

Mas Bambang terus berbisik padaku. "Pak sabar! Ojo grasa grusu."

Hatiku kesal tak karuan benar-benar rasanya aku ingin menghancurkan meja kerjaku saat ini juga. Namun nyeri di kedua kepalan tanganku mengingatkan ucapan Aji semalam. "Pasti terjadi sesuatu, jangan gegabah."

Seketika skenario terburuk terlintas dalam kepalaku membuat dendamku semakin memuncak. Tapi si cepak mengatakan, belum ada bukti yang kuat dan tak ingin membebani perasaanku yang sudah kalut. Seketika kecemasan dan penyesalanku tenggelam dalam kebencian pada mereka, terutama Ayu! Wanita brengsek, rasanya aku ingin membunuhnya saat ini juga.

Mas Bambang mengantarkan secangkir kopi, aroma kaffein membuat hatiku tersengat nyeri, apalagi kalau bukan karena teringat Adis. Di mana dia sekarang? Sudah makan belum? Bagaimana tidurnya? Apa dia baik-baik saja? Apakah wanita itu masih marah padaku atau justru dia semakin membenciku? Semua pertanyaan ini memperburuk kesedihanku.

"Pak ngopi dulu biar ndak lesu." Mas Bambang yang biasanya menunggu di luar gudang pun memilih untuk menemaniku mungkin karena dia tahu rasanya di tinggalkan begini.

"Iya Mas terima kasih." Aku menyesap kopi yang manis. Ah jika ini buatan Adis pasti dia akan membuatnya lagi. Air mataku menggenang dengan dada yang semakin nyeri. Mengingat wajah cantik juga lembut sikapnya, Adis! Aku merindukanmu.

"Pak saya mau ijin beberapa hari boleh?" Tiba-tiba saja Mas Bambang mengutarakan maksudnya di sini.

"Iya Mas buat saja cutinya nanti saya tanda tangan. Berapa lama?" Ucapku cepat sambil memeriksa mris sialan juga surat tanda terima yang bertumpuk.

"Mungkin dua hari, Bapak ndak apa-apa kan bawa mobil sendiri dan kalau saya tinggal?" Kecemasan pria berkumis di hadapanku ini membuatku sedikit menyesal pernah berburuk sangka padanya. Ternyata Mas Bambang benar-benar orang yang baik.

"Ya saya ngak apa-apa, tenang saja. Memangnya mau ke mana?" tanyaku lagi.

"Mau anterin Dewi liburan tempat Mbah-nya di kampung. Sekalian refreshing Pak!"

Entah kenapa mendengar Mas Bambang bicara bahasa asing dengan logatnya yang medok terdengar seperti Adis. Membuatku tersenyum nyeri. Tak tahan dengan ngilu yang semakin menusuk membuatku menangkup wajah yang mulai basah. AH! AKU MEMANG BANGSAT!

Mas Bambang kembali menghiburku dengan kata-kata klasik, "Seng sabar." Namun badai dadaku semakin menghebat.

Jam kerja sudah usai membuatku enggan untuk kembali ke rumah. Untuk apa? Semakin memperburuk perasaanku saja. Sepanjang hari ini aku masih harus memimpin Stock Taking Opname. Menghitung fisik barang dengan stock yang tertulis, ternyata menyibukkan diri berhasil mengalihkan pikiranku sedikit. Walaupun terkadang kecemasanku masih ada.

Akhirnya aku menemukan selisih hitungan fisik, karena barang yang tercampur di bagian lain. Inilah susahnya menghitung baut. Bentuk hampir sama meskipun beda setengah inchi. Tetapi part number dan stock kode-nya sudah pasti beda. Kepalaku hampir meledak mencarinya. Tak main-main, selisih hampir 500 pcs. Mereka ceroboh sekali.

TEBU MANTEN (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang