TIGA PULUH

363 50 7
                                    

Berdua di ujung gudang chemical tempat pembuangan drum kosong juga scrap las. Aji menutup hidungnya dengan siku. Baunya memang menyengat tajam. Kami berjalan dalam senyap, cahaya lampu tembak dari atas atap gudang sudah cukup untuk menerangi jalan menuju pos satpam terbengkalai.

EH! Apa ini? Ilalang disekitarnya tersibak. Sepertinya ada yang pernah kemari. Aneh! Padahal beberapa hari yang lalu jejak ini tak ada. Kecurigaanku makin besar.

"Ndra? Ngapain ke sini?" Bisik Aji sambil sibuk menengok, kalau ada orang yang melihat gelagat kami semua rencananya bisa bubar.

"Aji! Lihat, rumputnya rebah, ada yang pernah kemari." Aji melihat arah telunjukku. Si pitak terbelalak, dia sepakat. Aku perlahan membuka gerbang kayu lapuk, rumput merambat menutupi hampir separuhnya. Riuk jelantir membuat suasana di sini jadi singup. Auranya tempat ini berbeda. Mungkin karena indraku semakin sensitif jadi aku bisa merasakannya.

Kami berdua mengendap perlahan mendekati bangunan putih kusam dan mendekat ke pintu besi berkarat, dalam samar lampu gudang aku mendorong engselnya yang bulat dengan ukiran melati dan kantil. "Dikunci Ji," bisikku.

Pemuda di belakangku melihat dengan seksama, lalu mengeluarkan sesuatu dari dalam sakunya bersamaan bunyi gemerincing logam yang khas. Belum juga berhasil membobol engsel samar-samar terdengar suara orang mendekat. Aji segera menarikku menuju belakang bangunan. Merunduk dan bersembunyi dalam semak ilalang tebal yang tumbuh subur tepat di bagian belakang tembok bangunan.

Jantungku berpacu kencang melihat Aji yang waspada mengintip dengan tenang tepat di sisiku. Gila! Adrenalin mengalir dalam darah, meningkatkan pendengaran dan pengelihatan. Suara itu semakin jelas.

MAMPUS! Pak Wiro dan Mbah Santo mendekat.

Aji menarik diri dan bersandar di dinding, memberikan kode dengan mata untuk tetap tenang meskipun kecemasan, ketakutan, juga kebencian membalut kami berdua yang sebisa mungkin menahan nafas agar tak bersuara. Sedikit saja kami ceroboh dua orang gila itu bisa menyadari keberadaan kami.

Keduanya kini berada tepat di depan pintu besi berkarat, gemerincing kunci terdengar bersamaan dengan suara Mbah Santo yang dingin, "Wiro, Jangan lupa kasih makan mereka. Nanti mati sebelum waktunya!"

"Yes Mbah! Jangan khawatir. Dua orang itu sudah kita dapatkan tinggal sisanya." Suara si gempal benar-benar khas.

"Kalau kita gagal kamu tahu sendiri kan!" Lagi-lagi mereka bicara.

"Yeah! Nyi Ireng bakalan ngamuk Mbah! I don't wanna die!"

"Kamu ini! Gak mau mati tapi senang jadi malaikat pencabut nyawa." Suara Mbah Santo kembali terdengar.

"It was fun and I like it!" Si gempal bicara sambil tertawa.

EDAN! Apanya yang menyenangkan.

Dan suara klek terdengar dengan decit pintu besi yang nyaring. Lalu pintu ditutup, dua orang itu menghilang. Bangunan ini bukan pos satpam terbengkalai, ada sesuatu disini!

"Ndra, Jangan sekarang!" Aji berbisik. Anggukanku membuat kami bergegas kembali. Nafasku baru lega setelah kami masuk kedalam gudang. Untuk pertama kalinya aku merasa tertantang seperti ini.

Beberapa karyawan lain melihat kami penuh curiga, membuatku bergegas pergi. Pasalnya mereka bukan orang divisi warehouse tapi kenapa ada di sini. Jangan-jangan beberapa karyawan lain juga terlibat. Sepertinya ini semakin meluas. "Ji ke kantor saja!" Pemuda disebelahku segera paham, kami mempercepat langkah.

"Aji! Aku harus balikin Adis, Ini bahaya, aku gak mau dia kenapa-napa!" Bisikku tegas,

Aji seketika meradang. "Jangan dulu Ndra! Mereka bisa curiga. Bisa bubar rencanaku!" Kami terus berdebat meski dengan suara yang lirih.

TEBU MANTEN (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang