DUA PULUH TIGA

354 41 17
                                    

Masih banyak yang ingin aku tanyakan pada sosok disampingku ini, tapi sesuatu menarikku, menjauh dari andra yang berdiri mematung sambil tersenyum.

Tubuhku melayang lalu berputar dalam sebuah lorong dimensi yang membuatku mual dan dihempaskan sekuat mungkin, kembali pada ragaku yang terpejam di atas ranjang tua yang berdecit. Pertamakali yang ku lihat adalah langit-langit kamar yang redup lalu Adis yang terlelap sambil memelukku.

Pelan tapi pasti kesadaranku kembali, aku mulai mengingat dan mengurut semua kejadian aneh yang terus menerus aku alami. Menghubungkannya dan menyadari jika selama ini aku tak bermimpi.

Semua pertemuanku dengan mereka. Mimpi-mimpi buruk itu semuanya nyata, jiwaku berkali-kali masuk ke dimensi astral. Hanya saja aku tak menyadari hingga sosok ini menemuiku.

Diriku yang lain. Andra yang memakai beskap juga blangkon. Mungkinkah dia masa laluku? Atau sosok yang menemaniku?

Kesalahan buyutku? Apa yang sudah dia mulai dan kenapa harus aku yang menyelesaikannya?

Keyakinanku semakin kuat jika Nyi Ireng benar-benar berhubungan denganku. Ini bukan tentang masalah tumbal saja, melainkan kebenaran yang harus aku temukan.

Kenyataan ini membuat hatiku remuk redam, apalagi saat dia mengatakan tentang jati diri. Salim Chandra adalah namaku!

Untuk pertama kalinya bulir hangat mengalir di sudut mataku.  Aku sungguh menginginkannya. Masa laluku! Aku bahkan punya saudara, tapi dimana dia sekarang? Apakah dia juga tahu jika aku masih hidup. 

Di atas pembaringan, aku menangis sambil menutupi mataku yang pedih, seorang pria terisak-isak di tengah malam, seperti bukan diriku saja. Namun firasatku berkata jika aku harus melepaskannya dan terbuka pada diriku sendiri. Menerima kelebihan, kekurangan juga lukaku. Jujur dengan diriku sendiri ternyata selama ini aku hanya berpura-pura kuat!

Tapi aku harus melakukannya, membohongi perasaanku. Tinggal sendirian, sebatang kara. Berdiri sendiri tanpa keluarga.
Hanya berpura-pura yang membuatku bisa bertahan sampai di sini.

Tapi detik ini aku menyadari jika aku sungguh naif, menahan tangis dan menegaskan jika semua ini sudah takdir, padahal memang hidupku sungguh menyedihkan.

Aku yang tak pernah berusaha menanyakan siapa diriku yang sebenarnya. Karena takut, bahwa menerima kesedihan ini akan membuat hatiku semakin remuk redam. Ayah? Ibu? Mereka sudah pergi meningalkanku.

Andra kau sungguh bodoh dan munafik. Kali ini menangislah, terimalah lukamu! Karena sedari awal kau sudah tak baik-baik saja!

Seiring isakanku yang lirih juga gempuran perasaan yang meluap, satu persatu ingatan terbuka seperti kotak pandora, samar-samar aku mengingat kenangan yang datang melintas dalam memoriku. Wajah seorang pria yang buram dan suara wanita dengan logat jawa yang sangat kental dan halus, juga suara anak laki-laki yang mengajariku berjalan. Tawa bahagia ketiganya, sayangnya aku tak bisa mengingat wajah mereka. Apakah aku harus mencoba lebih keras? 

Tarikan nafasku selanjutnya, kenangan itu berubah mengerikan. Sepertinya itu malam hari, aku berada dalam gendongan anak laki-laki yang meringkuk ketakutan dipojok ranjang. Saat dua orang pria memakai pakaian gelap masuk ke dalam kamar, mengayunkan senjata tajam pada laki-laki lain yang mempertahankan diri dan wanita yang melindungi kedua putranya yang tak berdaya.

Sedetik lagi seseorang yang lain hendak mengayunkan parangnya kearah tubuhku seorang rekannya menahan tubuhnya dan memberikan kode. Keduanya bergegas keluar sambil mengunci kamar. Sayang sungguh sayang tak sedikitpun aku bisa melihat wajah mereka semua termasuk anak laki-laki yang menggendongku.

Malam itu darah mengalir merah dari kedua tubuh pria dan wanita yang meregang nyawa. Sang ibu menatap ke arah kami berdua. Lagi-lagi aku tak bisa mengingat wajahnya dengan jelas.

Yang bisa aku ingat hanyalah suara dendam, makian, amarah juga erangan nyawa menyayat, menjadi simfoni dengan tangisan dan jeritan malam itu. Sedetik kemudian lidah api yang menjilat seluruh bangunan, asap pekat, oksigen berkurang.

Apa ini saat keluargaku meninggal? Belum aku sempat menjawab rasa mual menyerangku, sontak aku bangun dan bergegas ke toilet. Derik ranjang bersahutan dengan suara pintu terbanting membangunkan Adis yang terlelap. 

Wanita itu bahkan tak sempat mengusap wajahnya dan segera menyusulku. "Mamas kenapa?" Kecemasan menguasai Adis. "Mamas?" suaranya semakin keras.

Aku hanya menjawab dengan melambaikan tangan padanya. Mualku memaksa otot diafragmaku berkontraksi, membuat perutku kram juga nyeri luar biasa. 

"Mamas sakit ya?" Adis menepuk lembut punggungku.

Detik berikutnya tubuhku mengeluarkan hal yang sulit di terima akal sehat. Di toilet gumpalan darah beku kehitaman keluar dari dalam lambungku juga beberapa serpihan kecil seperti tulang. Sungguh menjijikkan, apalagi gumpalan itu juga bergerak.

Secepat mungkin aku menyiramnya namun sayang Adis sudah terlanjur menjerit ketakutan "Getih? Mamas kok muntah darah toh?" 

"Mamas sakit opo toh? MAMAS!" Adis semakin histeris. Aku hanya melambaikan tangan, lalu menyeka bibir, aku sudah tak sanggup bicara. Energiku terkuras habis. Bulir keringat membasahi dahi dan punggungku. Firasatku mengatakan jika itu adalah guna-guna darah kotor yang Mbak Ayu kirimkan.

Dia mengeluarkannya, diriku yang lain!
Aku bangkit kepayahan, sendi tubuhku seperti lepas. Utung saja ada Adis yang memapahku meskipun wanita ini juga kesulitan karena tubuhnya yang mungil. Jika tidak aku pasti merangkak keluar dari toilet, lemasnya tak main-main. 

"Maaf ya Adis? Mamas merepotkanmu."

"Ish ... Mamas ki ngomong opo toh? Adis panggil Mas Aji biar anterin Mamas berobat yo?" Wanita di sampingku sudah menangis, Iris matanya berkabut.

Aku hanya menggeleng dan tersenyum. Meskipun kepayangan Adis berusaha membawaku ke kursi dapur dan merebahkanku yang lemah seperti lumpuh.

"Minum Dis?" Pintaku lirih.

Secepat kilat wanita ini mengisi gelas dan membantuku seperti seorang ibu sambil terisak pilu. "Adis, Mamas gak apa-apa, sudah jangan nangis begitu." Ujarku.

"Mamas tu sakit opo?" Wajah itu masih cemas dan penuh tanda tanya, suara bergetar bersahutan dengan isakannya.

"Mamas gak sakit loh dis. Nih sehat begini kok." Aku membusungkan dada menghibur Adis, tapi siapapun pasti takkan percaya.

"Ngapusi, itu tadi opo? Kenapa muntah darah begitu? Mamas ada yang disembunyikan dari Adis ya?" Firasat perempuan itu memang tajam seperti sebilah pisau. Namun tak mungkin aku mengatakannya, dia pasti semakin cemas.

"Mamas tadi tu bibirnya kegigit waktu tidur. Sudah jangan nangis lagi,"  hiburku.

"Ngapusi?"

"Enggak Dis."

"Beneran?"

"Iya."

"Tenanan?"

"Iya!"

"Ish, seng bener toh?" 

"Ho'oh"

"Ih... Mamas iki! Seng bener toh?"

"Iya Adis, Mamas sudah gak apa-apa. Demamnya juga sudah turun, nih kalau tidak percaya?" Aku meraih tangan Adis dan meletakkannya di dahiku yang basah. Adis akhirnya percaya meski tak sepenuhnya.

"Mamas jangan mati! Adis ndak mau sendirian."

Astaga! Sembarangan sekali wanita ini bicara, tapi melihat matanya yang basah juga wajahnya yang cemas aku tahu dia hanya khawatir.

"Gak! Mamas gak akan mati tapi kalau Adis tinggalin Mamas, gak janji ya?"

Ya kali ini aku tak lagi sendiri, Adis sudah ada bersamaku.

TEBU MANTEN (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang