''ini'' Jai memberiku segelas air putih dingin ''terimakasih''
jujur saja, semenjak kejadian tadi, aku mengunci diri dari Nathan, ini tidak bisa dibiarkan.
ya, aku benci Kylie, tapi aku tau betul bagaimana perasaannya saat Nathan memutuskan secara langsung dan spontan seperti itu, tanpa alasan pula gila saja dia aku ini perempuan, aku tahu betul bagaimana rasa nya di sakiti seperti itu ''bagaimana bisa?'' kepala ku mendongkak ke atas untuk melihat nya, memberikan tatapan bagaimana apa nya? ''bagaimana kau bisa lari darinya? Kau berada di mobil nya kan? Aku yakin ia pasti mencengkram tangan mu'' tiba tiba saja tangan Jai meraih tangan ku yang sedang bertumpu pada lutut ku ''lihat? Ia menyakiti mu'' aku diam, perasaan aneh ini muncul sebenarnya ini sudah muncul saat kami bertengkar di jalanan tadi, aku ingin sekali memiliki Nathan seutuh nya dengan artian ia berpisah dengan Kylie, tapi saat ada Jai—ergh, maksudku sejak pertengkaran tadi keinginan ku untuk memiliki Nathan berkurang, entah seperti sedikit demi sedikit aku mulai melepaskannya, sama seperti bunga Dandelion yang kutiup perlahan keudara membuat semua kelopak (aku menyebutnya kelopak) halus itu bertebrangan dengan bebas dan juga tenang, mencari tempat yang Angin tujukan pada mereka
''kau butuh istirahat, tunggu sini aku akan menyiapkan kamar untuk mu'' aku mengangguk pelan, rasanya pening sekali mengingat pertengkaran ku tadi dengan Nathan, dengan nekatnya aku keluar dari mobil setelah melepaskan nya berlari sekuat tenaga sampai sampai aku melepas high-heels ku agar aku gampang untuk berlari, aku tahu Nathan mengerjar ku itu terbukti saat ia meneriaki nama ku berkali kali, hingga akhrinya aku menemukan rumah di pinggir jalan, cukup sepi dan dekat dengan kota, dengan Jai duduk di teras nya sambil memegangi botol coke nya
memejamkan mata kuat kuat, berusaha meredakan rasa sesak didada setiap kali aku mengingat nya, entah apa yang akan terjadi esok, apakah Nathan akan memberikan ucapan selamat pagi untukku seperti biasa nya? Sisi lain, aku ingin menjauh dari nya untuk beberapa saat, memberi nya pelajaran agar ia sadar bahwa memutuskan Kylie saat itu adalah salah, ia terlalu kekanak-anakan, sifat posesif nya yang tidak wajar membuat ku risi dengan nya, namun aku juga tak mau kehilangan dia, dia cinta pertama ku sekaligus orang pertama yang memberiku secercah harapan bahwa aku bisa bahagia dengan orang lain, bukan hanya dengan orang tua ku atau keluarga ku
''kamar mu sudah siap, kau bisa tinggalkan handuk nya di sofa, biar aku yang menjemurnya nanti'' Jai datang dan mengangetkan ku, aku hampir terloncat mendengar suara nya yang mendadak itu ''ah, ya, dimana?'' aku bangkit dan melihat kebelakang Jai, apa kamar yang terbuka itu kamar ku?
''itu'' benar saja,lalu aku berlalu melewati Jai, memasuki kamar kecil itu, nyaman ya, itu yang kurasakan saat aku masuk ke kamar ini
''Ariana..''
''ya?''
''Selamat Malam, aku ada disini jika kau membuthkan sesuatu, dan ya aku akan mengantar mu besok''
aku tersenyum singkat kearah nya dan mengangguk, lalu memasuki kamar kecil ini
oh, kamar nya tidak kecil ternyata, ada kamar mandi juga di dalam nya
lalu aku mengecek ke arah lemari, aku sempat berfikir bahwa ini kamar kakak nya atau ibu nya karena keadaan kamar nya rapih, dan dengan segera aku membuang jauh jauh pikiran bahwa ini adalah kamar Jai, rasanya mustahil lelaki seperti Jai mempunyai kamar seperti ini, ini jauh lebih rapih dari pada kamar ku, aku terkekeh memikirkan itu semua
KAMU SEDANG MEMBACA
Damn, I love you!
Teen Fictionaku pun tak mengerti dengan hati ini terkadang aku senang jika nathan menggoda ku seperti tadi, tapi terkadang sakit yang luar biasa mengerogoti hati ini ketika aku mengingat satu kata yang menggambarkan aku dan nathan, lebih tepat nya sangat mengga...