06. the mission

58 20 3
                                    

Kantor administrasi Song Bersaudara memiliki struktur yang payah. Chanyeol hanya melihat petanya satu kali dan dia bisa langsung merekamnya di dalam kepala. Terlalu sederhana untuk sesuatu yang seharusnya memiliki tingkat keamanan lebih tinggi. Mungkin, asumsi Chanyeol, orang-orang menganggap bahwa takkan ada yang mau menghabiskan waktu dan repot-repot memikirkan kantor yang tak setiap hari dikunjungi. Keamanan adalah nomor sekian.

Dia benar-benar sendirian. Pengantarnya berada di satu kilometer dari lokasi untuk alasan kerahasiaan. Chanyeol masuk ke dalam ruang lobi yang hanya seukuran kamar, tidak ada siapa-siapa. Bilik penjaga hanya diisi satu orang, dengan mudah dibuat tidak sadar.

Chanyeol mengamati langit-langit. Peta struktur langit-langitnya berada di dalam kepalanya. Jalur evakuasi darurat bisa ditempuh lewat ruang arsip kedua yang berada di sayap kanan. Jika terjadi sesuatu, dia harus menemukan cara bersembunyi di ruang arsip dan memanjat melalui sisi samping melewati jendela. Dia berjalan cepat menuju ruang target, melewati beberapa kubikel yang berdebu. Hampir tidak pernah ada yang benar-benar bekerja di sini, kecuali staf keamanan dan staf teknis yang menghabiskan waktu lebih banyak di area lepas pantai.

Dia berhenti di depan ruang target. Ruang target terbagi dua, satu ruang komputer server yang terhubung ke sistem di kilang ekstraksi, dan ada ruang lagi di dalamnya yang terbagi menjadi dua bilik, satu ruang tujuannya dan yang lain adalah ruang arsip dua.

Chanyeol membuka pintu dengan sehalus mungkin. Hanya ada satu penerangan dari koridor, ruangan itu hampir tak terlihat baginya, dia hanya mengingat peta yang ada di dalam kepalanya. Dengan mengendap-endap, dia memasuki ruang tujuan dan hanya menemukan satu buah meja di tengah-tengah ruangan. Meja tersebut memiliki dua laci yang penuh, dan dengan senter kecilnya dia membuka laci paling atas.

Laci tersebut penuh dengan benda-benda sampah. Sekrup, tutup botol, buku-buku agenda yang kosong, dan berbagai benda kecil yang tak terpakai.

Di laci kedua, Chanyeol menemukannya. Dia segera keluar dengan suara seminimal mungkin.

Sekelebat bayangan di depan komputer di sudut ruangan membuatnya mengangkat senjatanya.

Ada seseorang.

Chanyeol mengitari seluruh ruangan dengan senjata terangkat. Siluet yang serupa berkelebat lagi di ujung yang berbeda, dan tiba-tiba saja, ujung pelatuk yang dingin menempel pada pelipisnya.

Dia mendengar suara napasnya sendiri tercekat. Dia menoleh dengan amat pelan.

"Oh. Ternyata kau."

Suara napas yang beradu, dua orang.

"Kadet Park Chanyeol."

Chanyeol mengangkat sudut bibirnya. "Seharusnya aku mempercayai instingku."

"You're not a bad actor. Just a newbie in instinct."

Chanyeol berbisik, senjatanya terasa berat di tangannya, "Apa yang kau lakukan di sini, Wendy Shon?"

Mereka berdua sama-sama terdiam ketika suara berisik terdengar dari pintu depan. Mata mereka bertemu di tengah kegelapan. Chanyeol bergerak seperti kilat, masuk ke dalam bilik arsip dua. Jendela tertutup kerai dan Chanyeol memanjatnya, menemukan lubang pada langit-langit dan segera memasukinya. Wendy menyusulnya. Kakinya salah berpijak, ia nyaris tergelincir. Chanyeol bertopang pada tubir lubang langit-langit dan mengulurkan tangannya.

Wendy melompat, menyusul ke langit-langit, berimpitan di dalam ruang tersebut sementara suara langkah semakin mendekat di bawah. Chanyeol merayap di dalam plafon, melewati pipa-pipa dan kerangka, mencari tempat aman yang jauh dari tepi. Bau amis dan apak mengisi hidungnya.

Wendy melepaskan in-ear dari telinga kanannya. Ia menempelkan telinga ke langit-langit, dan diam sesaat.

"Dua orang," bisiknya, "satu badannya besar. Satu kecil. Langkah laki-laki, dan bukan seseorang yang terlatih baris-berbaris."

Mata Chanyeol mulai terbiasa dengan kegelapan. Wendy mulai duduk di hadapannya. Ia melipat kakinya. Bahkan di dalam keremangan, Chanyeol masih bisa melihat binar di matanya. Aroma parfum mawar mendesak bau apak langit-langit yang tak terawat, mengingatkannya pada lobi hotel dan Dva Brata, tebing dan pantai yang tak akan dia lupakan seumur hidupnya.

Chanyeol menyelipkan arsip yang didapatkannya ke dalam pakaiannya, sembari menatap Wendy. Wendy tak melakukan apa-apa. Targetnya bukan ini.

Suara langkah berganti dengan suara pembicaraan. Bahasa Rusia. Chanyeol dan Wendy saling pandang. Wendy berbisik setiap kali pembicaraan itu dijeda,

Tidak ada apa-apa.

Siapa yang tadi tidak mematikan komputer?

Kenapa dia malah tidur di luar sana?

Chanyeol bergumam, "Payah."

Mereka membiarkan kedua orang itu selama beberapa saat hingga menjauh.

"Apa yang kau lakukan di sini?"

Wendy tersenyum tipis. "Sesuatu yang berbeda dari misimu." Ia mengedikkan dagu ke arah Chanyeol, memberi isyarat pada apa yang disembunyikan di balik pakaiannya. Ia pun beringsut mundur. "Yang jelas, Park Chanyeol, misiku bukan untuk mengambil hasil penelitian virus 0074. Misiku hanya di seputar Kode F."

Chanyeol menatapnya untuk terakhir kali sebelum ia turun dan memberikan kalimat terakhir. "Tidak ada konflik kepentingan di antara kita, Kadet."

Ada bunyi jendela yang dibuka. Chanyeol merayap untuk turun. Jendela telah dibongkar, setengah terbuka, dan dia menyelinap di celahnya.

Angin berembus dingin, senyap.

Wendy telah menghilang.

*

Virus 0074. Kode F. Misi yang bukan konflik kepentingan. Semua terus bergema di dalam kepala Chanyeol sampai resepsionis harus memanggilnya tiga kali.

"Maaf, Tuan Park?"

Chanyeol mengerjapkan mata. "Maaf. Ya?"

"Sudah dipastikan tidak ada barang yang tertinggal, ya?"

"Ya, aman."

"Baiklah. Terima kasih telah menginap di Hotel Ascension, Tuan Park. Semoga Anda menikmati kunjungan Anda di sini."

"Ah, ya. Terima kasih kembali. Bolehkah aku bertanya sesuatu?"

"Silakan."

"Tamu delegasi Republik Korea, atas nama Wendy Shon masih berada di hotel?"

"Sebentar." Petugas tersebut mengecek komputernya. "Maaf, Tuan Park. Nona Wendy Shon sudah keluar tadi malam."

"Begitu. Terima kasih, ya. Selamat pagi."

codename: red appleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang