Terlahir buta, bukanlah keinginan Malta. Jika bisa, ia juga ingin terlahir dengan mata yang normal, bisa melihat indahnya isi bumi yang Tuhan ciptakan. Sayangnya, takdirnya sudah seperti ini.
Katanya, orang buta itu hanya bisa melihat kegelapan tanpa bisa melihatnya cerahnya kehidupan. Namun, bahkan Malta tidak tahu warna hitam itu seperti apa dan cerah itu seperti apa di matanya, begitu pula dengan warna-warna yang lain, bagaimana bisa ia mendeskripsikan kata buta kepada orang lain? Malta hanya bisa mendengar dan menerka seperti apa bentuk barang-barang yang ada di sekelilingnya dengan imajinasinya sendiri.
"Kak, boleh pegang wajah kakak?" Tanyanya, iris mata yang kata orang-orang berwarna abu-abu itu menatap tak tau arah dengan pupil bergerak ke kanan kiri, meminta izin pada remaja yang kini tengah duduk berhadapan dengannya.
"Boleh."
Mendengar ucapan izin dari sang empu, Malta mulai mengangkat tangannya mengambang udara, dan mendarat di wajah Bilal, sang kakak. Kata-kata orang, Bilal itu tampan, wajahnya nyaris mewarisi wajah yang juga tak kalah tampannya. Sementara Malta sendiri, katanya ia mirip dengan wajah sang ibu.
Tangannya mulai meraba wajah mulus bilal, mengabsen satu persatu lekuk wajah yang ia pegang. "Hidung Kakak masih besar, bibirnya juga masih tipis, masih sama kok, nggak berubah," gumamnya seraya tersenyum lebar.
Bilal yang mendengar itu sontak tertawa pelan, ia membuka matanya yang tertutup lalu menyentuh tangan sang adik yang masih betah bertengger di wajahnya. "Wajah kakak memang nggak akan berubah Dek, kamu lucu banget sih."
Tak tahan akan tingkah sang adik yang selalu menggemaskan ini, Bilal mencubit pipi anak tersebut sampai anak itu memekik kesakitan. Biarlah orang-orang menghina sang adik di luar sana, bagi Bilal kekurangan Malta itu penyempurna anak tersebut. Malta spesial, ia memiliki sesuatu yang tidak orang miliki.
"Takutnya aja kakak berubah, aku takut ditinggal sendiri nantinya," ujar anak itu, wajahnya sedikit tertekuk karena masih kesal akan Bilal yang mencubit pipinya dan meninggal rasa sakit itu.
Bilal tersenyum sendu mendengarnya, ia menangkup wajah sang adik, dan mengunci tatapannya agar fokus pada iris abu Malta, "Kakak nggak akan berubah Dek, Kakak bakal tetep sayang sama Adek sampe kapanpun."
"Janji?" Tanya anak itu, dengan cepat Bilal menganggukkan kepalanya walau tahu sang adik tidak bisa melihatnya.
"Kakak janji. Apa Adek sebuah punya permintaan?" Tanya Bilal balik.
"Permintaan? Aku punya Kak," jawab Malta
"Apa itu?"
Malta tampak berpikir sejenak, sampai ranum pucatnya itu terbuka, "aku 'kan nggak bisa lihat, jadi kalo bisa, aku mau sentuh muka Ayah sama Bunda. Bisa kak?"
Hati Bilal mencelos mendengarnya, selama ini Malta tak pernah sekalipun mendapatkan afeksi dari kedua orang tuanya. Mereka menganggap Malta sebagai aib yang sebaiknya tidak mereka akui. Keduanya tidak sudi untuk sekedar menyentuh Malta, karena menurutnya Malta anak cacat yang pantas di jauhi.
"Bisa, Kakak janji Adek bisa sentuh muka Ayah Bunda nanti," tutur Bilal dengan mantap, ia akan berusaha membuat sang adik bisa menyentuh wajah kedua orang tuanya nanti, Bilal janji.
Senyum ceria terbit di bibir Malta, "makasih Kak."
***
Selain buta, Malta juga sakit. Ia mengindap thalassemia, sakit turunan yang ia dapatkan dari neneknya yang kini sudah pergi. Mengharuskan Malta cuci darah, jika dulu dua Minggu sekali, kini Malta harus melakukannya satu Minggu sekali.
"Kakak ke mana ya?" Gumamnya pelan, kini ia sedang menunggu kedatangan Bilal yang akan menemani dirinya ke rumah sakit. Tapi sudah lama ia menunggu di kamarnya, Bilal tak kunjung datang. Apa kakaknya lupa? Tidak mungkin, Bilal tidak mungkin lupa 'kan?