Yasa adalah bocah yang nasibnya seolah diuji Tuhan. Di usianya yang masih belia, ia sudah harus bergelut dengan rasa sakit yang menghujam jiwanya. Lupus, monster ganas yang tak kenal ampun, telah mencengkeram paru-parunya sejak ia masih duduk di bangku sekolah dasar. Setiap serangan lupus datang, tubuhnya seolah dihujani duri, sendi-sendi terasa dililit bara, dan yang paling menghantui, sesak nafas yang seolah-olah hendak mencabut nyawa dari raganya.
"Kakak, jangan pergi," bisik Yasa lemah, matanya memelas kepada Yada, saudara kembarnya. Kakinya gemetar menahan diri untuk tidak terjatuh saat menghampiri Yada yang tengah sibuk menyusun pakaian di koper.
"Maaf ya, Dek. Kakak harus pergi dengan Bunda. Tapi jangan khawatir, Kakak akan sering mampir," kata Yada, nada suaranya berusaha memberikan ketenangan, meski jelas terlihat air mata yang mulai berkumpul di pelupuk matanya, menggambarkan pertarungan batin yang dialaminya saat harus meninggalkan Yasa sendirian dengan segala deraan sakit yang membelenggunya.
Yasa menunduk dalam nestapa, mengetahui orang tuanya, Narumi dan Dika, telah bercerai secara resmi. Detik-detik itu ibarat reruntuhan hati saat memutuskan bahwa Yasa akan tetap di rumah bersama ayahnya, sementara Yada akan pergi dengan ibu mereka. Selubung kesedihan menyelimuti Yasa saat realita keluarganya yang tak lagi utuh membayang, terutama rasa pilu yang mendalam karena harus terpisah dari Yada, kakak kembarnya.
Yada menenangkan Yasa yang terisak dalam kebisuan, memeluknya penuh kasih. "Jangan nangis, Adek. Kakak janji, kita akan selalu terhubung. Kakak akan kabarin semuanya ke Adek," ucapnya lembut. Yada dan Yasa, sepasang saudara kembar yang sejak lama selalu merasakan apa yang dirasakan satu sama lain. Mereka adalah cerminan jiwa satu sama lain.
Yasa, dengan suara yang terbata-bata, berbisik, "Janji ya, Kak, kalau udah punya rumah baru, kabarin aku duluan." Matanya berkaca-kaca, refleksi dari kelemahan hatinya yang tak sanggup menghadapi perpisahan, berbeda dengan Yada yang berwajah lebih tegar.
Dengan nada yang penuh penyesalan, Yada menjawab lirih, "Iya, Adek. Kakak janji." Keduanya saling berpelukan, memadu rasa sakit dan perpisahan yang mereka rasakan, sebelum jalur hidup mereka harus berpisah.
Saat detik-detik perpisahan tiba, Yada dan Narumi bersiap meninggalkan rumah yang telah menyimpan ribuan kenangan. Mata Yasa berkaca-kaca, rasa penolakan bergelora dalam dadanya, seolah segala kehangatan di rumah itu akan pergi bersama mereka.
"Ini semua gara-gara Ayah! Aku benci Ayah!" teriak Yasa, suaranya pecah seiring dengan derai air mata yang membanjiri wajahnya. Menyalahkan sang ayah karena pria tersebut yang menceraikan sang ibu.
Kata-kata itu bagai silet yang menghiris hati Dika. Dengan napas yang tersengal, ia hanya bisa terpaku, melihat anaknya menatap dirinya dengan pandangan yang penuh luka dan kekecewaan, sebelum akhirnya berbalik dan pergi, meninggalkan Dika yang berdiri terpaku, tenggelam dalam kepedihan.
"Yasa!" Dika berbisik lirih, seraya menggumamkan penyesalan dan harapan bahwa suatu hari nanti, Yasa akan memahami alasan sebenarnya mengapa dia harus mengambil keputusan pahit itu.
Sementara itu, Yasa yang tergopoh-gopoh menuju kamarnya, dengan kasar menutup pintu kamarnya, membiarkan tangisnya meledak dalam kesendirian yang menyesakkan. Di balik pintu itu, ia bertanya-tanya, bagaimana bisa seorang ayah merelakan perpecahan yang merobek-robek keluarga mereka.
Di ruang sunyinya, Yasa meratapi, "Benci! Aku benci Ayah!" menggema dalam setiap sudut kamar yang sepi, menyimpan sakit yang semakin membeku di relung hatinya.
***
Kejadian itu meninggalkan luka yang tak tersembuhkan dalam hubungan Yasa dan ayahnya. Yasa menjadi pemberontak, seolah tiap kata dari ayahnya merupakan racun yang dia tolak, dan dia pun terus melalaikan pengobatan vital yang seharusnya menjaga nyawanya.