Sibling

1.1K 63 0
                                    

Menjalin sebuah hubungan persaudaraan tidak harus sedarah, jika keduanya saling menyayangi dan menjaga satu sama lain sedarah atau tidak itu tidak penting. Namun bagi Malta, persaudaraan itu harus sedarah, jika tidak bukan saudara namanya.

Semenjak kedatangan anak bernama Janu itu datang ke rumah bersama kedua orangtuanya, Malta sudah membencinya.

"Malta, kenalin dia kakak kamu sekarang, namanya Janu," kata Bunda pada anak semata wayangnya.

Malta berdecih kesal, memandang remaja yang memiliki nama Janu itu dengan benci, "dia bukan kakakku!" Serunya seiring langkahnya yang ia bawa pergi. Tidak menghiraukan Bunda dan Ayah yang memanggil namanya.

Bunda menghela napasnya, ia berjongkok di depan Janu yang menggunakan kursi roda. "Maafin Malta ya, dia gitu karena belum terbiasa aja. Jangan di bawa hati ya kak."

Janu mengangguk pelan, remaja berkursi roda itu menurut saja dengan apa yang dikatakan Ibu barunya ini. Walau tidak bisa dipungkiri jika ia merasa sakit sebab baru saja mendapatkan penolakan, lagi.

"Ayo, sekarang Ayah tunjukkin kamar baru kamu." Ayah mengusak rambut Janu sebentar, sebelum mendorong kursi roda tersebut ke salah satu kamar kosong yang saat ini akan berpenghuni itu.

Sementara itu di dalam kamar, Malta menggeram kesal, dari awal Malta sudah tidak setuju jika Ayah dan Bunda akan mengadopsi seorang anak. Ayolah, apa dirinya saja tidak cukup untuk mereka? Mengapa juga mereka harus mengadopsi seorang anak yang bahkan sudah besar dan satu tahun lebih tua dirinya, 16 tahun. Terlebih lagi anak itu cacat, hanya bisa duduk di kursi roda.

Apa yang Ayah dan Bunda lihat dari anak cacat itu? Melihatnya saja Malta muak!

Di malam harinya Malta mengendap-endap memasuki kamar yang dulunya kosong kini sudah di tempati Janu. Ayah dan Bunda sudah tidur, menjadikan Malta tidak takut jika nanti ketahuan. Bisa ia lihat Janu sedang tertidur lelap di kasurnya yang empuk, kursi rodanya terlipat di pinggir dekat lemari, Malta tersenyum mengejek melihatnya.

"Bangun!" Sentak Malta menggoyangkan tubuh Janu dengan brutal, tindakan tersebut pun mampu membuat Janu terbangun dari tidurnya.

Janu mengerjapkan matanya karena ia masih mengantuk, ia kaget akan kehadiran Malta di kamarnya malam-malam seperti ini. "Ada ap_

Belum menyelesaikan perkataannya, tangan Janu ditarik sekuat tenaga oleh Malta, Janu meringis kesakitan dibuatnya.

"Berdiri! Lo pura-pura lumpuh supaya Ayah sama Bunda mau adopsi lo 'kan? Ngaku lo!" Ancam Malta yang tidak hentinya menarik tangan Janu dengan kasar hingga pada akhirnya Janu terjatuh dari kasurnya.

"Gue bilang berdiri! Nggak usah pura-pura lo!" Malta kesal melihat Janu yang tidak menuruti perkataannya, ia terus menarik Janu agar cowok itu berdiri.

Janu menggelengkan kepalanya, "nggak bisa, gue nggak bisa."

Jika saja bisa, sudah Janu lakukan tanpa menunggu dirinya terjatuh tak berdaya seperti ini. Kakinya tidak bisa ia gerakkan sama sekali, hanya diam tak berkutik saat otaknya memerintah untuk bergerak.

"Lo itu cacat! Kenapa Ayah Bunda mau nerima lo sebagai anaknya! Nggak guna!" Kata Malta dengan pedas, setelah itu ia pergi dari sana membiarkan Janu duduk tak berdaya di lantai yang dingin.

Janu hanya menghela napasnya lelah, ia bukan anak lemah yang diperlakukan seperti itu langsung menangis. Seharusnya ia menolak sedari awal, mendapatkan penolakan itu menyakitkan.

Janu berusaha naik ke kasurnya lagi, tapi sudah sekali-kali ia gagal untuk bisa naik. Janu berganti meringis nyeri saat kakinya tiba-tiba mengalami spasme, kondisi di mana otot-otot kakinya mengejang dan membuat kakinya terhentak-hentak sendiri dengan gerakan menendang yang tidak bisa Janu kendalikan.

One Shoot Brothership ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang