Detik Akhir

2.5K 125 11
                                    

Arrsya itu membenci dingin, karena dingin membuatnya lemah. Arrsya lebih menyukai kehangatan, salah satunya pelukan, rasanya begitu nyaman, Arrsya suka. Namun, Arrsya lebih banyak mendapat dingin daripada hangat, Arssya ingin menolak semua dingin yang mendekati dirinya, tetapi tidak bisa saat ayah bilang jika Arrsya pantas mendapatkan dingin itu.

“Nak, kau baik-baik saja. Ada yang terluka?” tanya seorang khawatir, sementara cowok yang ditanyai menggeleng pelan lalu berusaha berdiri walau sempat terhuyung, beruntungnya tubuhnya dapat menahan bobot sehingga kini sudah berdiri dengan tegak. Arrsya merasakan perih di sikunya, tetapi tidak apa-apa, bukan luka yang parah.

“Aku baik-baik saja, maafkan aku yang menyeberang jalan tidak hati-hati.” Hampir saja, nyawa anak itu menghilang, jika sang pengendara mobil tidak cepat-cepat menginjak rem saat dirinya menyeberang jalan. Ini memang salah Arrsya sendiri, yang tidak fokus memperhatikan jalanan. Untung saja pengendara mobil pria tersebut tidak marah dan justru menanyakan keadaannya.

“Saya sudah maafkan, tapi apa benar kau baik-baik saja? Saya khawatir ada yang terluka,” ujarnya, memastikan korban yang dirinya tidak sengaja tabrak hingga terjatuh itu baik-baik saja.

“Ah aku sungguh baik-baik saja.” Senyum manisnya mengembang.

“Baiklah, saya tidak memaksamu. Sekarang saya antarkan kamu pulang ya,” katanya lagi menawarkan tumpangan, tetapi lagi-lagi remaja di depannya menolak dengan halus. Langkahnya gontai, dengan tangannya memegangi dadanya yang terasa sesak.

Cowok yang memiliki tahi lalat itu menarik napasnya lalu menghembuskan secara perlahan untuk mengurangi sesak di dadanya. Hingga langkahnya sampai di rumah bercat cream berlantai dua, Arrsya segera memasuki rumah tersebut.

“Astaga, kamu kenapa Arr? Sini duduk dulu.” Seorang wanita baru baya mendekati nya. Lalu menuntun dirinya untuk duduk di sofa. Terlihat raut khawatir yang tersemat di wajah wanita itu, Arssya hanya memberikan senyum simpulnya, tidak bisa dipungkiri hatinya menghangat saat mendapat kekhawatiran dari sang bunda.

“Arrsya nggak papa bunda, cuma kecapean aja tadi abis main bola disekolah. Ternyata kayak gini rasanya mau mati ya bun.”
Bunda yang menghapus peluh di kening Arrsya dengan lembut terhenti, kala mendengar kata mati berasal dari Arrsya.

“ Kamu kalo ngomong sembarangan, memang udah pernah mati kamu.” Bunda sengaja mengatakan itu, demi menghilangkan rasa yang menghimpit didada setelah Arrsya berujur barusan. Arrsya hanya tertawa ringan, segera pamit dari pandangan bunda, langkahnya menuju kamar yang berada di lantai atas.

Tetapi baru saja beberapa langkah, tubuh Arrsya menegang ketika ayah menatap tajam padanya, melihat penampilan Arrsya dari atas hingga bawah lalu berdecih.

“Habis berantem lagi kamu? Lupa sama perkataan ayah?.” Ucapan dingin yang tidak mau Arrsya dengar, dirinya lebih suka tadi dengan ucapan bunda yang hangat dihatinya. Arrsya tidak suka nada itu.

“Nggak yah, aku tadi__,  “ Arrsya tidak menyelesaikan perkataannya, sudah tahu. Seberapa berusahanya dia mencoba untuk menjelaskan ayahnya akan tetap memberikan perkataan dingin padanya, dari pada membela dirinya yang berujung tidak didengarkan, Arrsya memilih diam.

“Maaf ayah,” ujarnya menunduk dalam.

“Hanya maaf yang mampu kamu ucapkan? Kamu tuh anak nggak bisa diatur. Liat tuh adik kamu, bisa ayah banggain, nggak kayak kamu.” Diam-diam, Arrsya mengeratkan genggaman pada tas yang dirinya bawa, terlalu sakit saat kata-kata itu meluncur.

“Maaf yah. Maaf kalo Arrsya belum bisa jadi anak kebanggaan ayah seperti Gama. Arssya pamit mau ke kamar.” Selepas itu Arrsya mempercepat langkahnya menuju kamar. Arrsya tidak tahu sampai kapan akan mendapatkan perlakuan seperti itu dari ayahnya, Arrsya juga mau di peluk oleh ayah seperti ayah yang memeluk Gama, adik kembarnya.

One Shoot Brothership ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang